Rabu 03 Jun 2015 14:26 WIB
Pilkada serentak

Pengamat: Pilkada Serentak Sebaiknya Ditunda Tiga Bulan

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro (kiri)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro menilai saat ini masih banyak persoalan yang terjadi dalam persiapan Pilkada serentak yang dijadwalkan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Bahkan, Undang-Undang Pilkada rencananya juga akan direvisi oleh DPR RI.

Ia menegaskan harusnya yang perlu dilihat dari revisi UU Pilkada ini bukan pasal-pasal yang tidak perlu diubah. Justru revisi harusnya dilakukan pada pasal-pasal yang dapat diubah dengan mensinergikan kondisi di lapangan saaat ini.

"Misalnya, pada pasal-pasal soal pelaksanaan Pilkada serentak yang akan dilakukan di 269 daerah. Yaitu klausul soal 9 Desember," ujarnya di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (3/6).

Menurutnya, klausul 9 Desember ini harusnya perlu dipertimbangkan lagi untuk pelaksanaan pilkada serentak yang tujuannya untuk memerbaiki kualitas pemilihan kepala daerah yang demokratis dan lebih amanah.

Padahal, saat ini kondisi riil di lapangan menunjukkan belum siapnya pelaksanaan pilkada serentak ini. Terlebih, soal anggaran juga masih menjadi masalah. Seperti anggaran yang pilkada yang belum siap di setiap daerah, maupun anggaran pengawasan pemilu yang belum cair.

"Dari pada seperti ini, lebih baik Pilkada ditunda 3 bulan, di bulan Maret 2016," katanya.

Siti mengatakan, jangan sampai pelaksanaan Pilkada serentak dipaksakan padahal kesiapan masih bermasalah. Menurutnya, harusnya dipikirkan juga bahwa bulan Desember adalah bulan liburan atau holiday.

Artinya, di bulan itu sektor pariwisata akan meningkat tajam. Kalau pelaksanaan pilkada serentak dilakukan dengan persiapan seadanya, justru akan berbahaya untuk kondisi secara nasional.

Ia mencontohkan, di Pilkada Mojokerto misalnya, kota itu terkenal 'adem ayem' tanpa pernah ada rusuh. Namun, saat pelaksanaan pilkada langsung, baru di tahap pembacaan calon kepala daerah terjadi chaos. Jadi, revisi UU Pilkada ini menurut Zuhro sebaiknya digunakan untuk membuat persiapan pelaksanaan menjadi sempurna tiga bulan pasca bulan Desember.

"Saya melihat rencana pilkada 9 Desember kurang tepat dilaksanakan," ujarnya.

Sebelumnya, DPR RI juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit kesiapan pelaksanaan pilkada serentak di 269 daerah di Indonesia. Sebab, anggota komisi II menilai bahwa anggaran Pilkada belum sepenuhnya siap. Bahkan, kalau hasil audit BPK mengatakan Pilkada serentak dinyatakan tidak siap, BPK juga menyatakan pelaksanaan Pilkada jangan dipaksakan.

"Kalau tidak siap, kita tidak boleh memaksakan pelaksanaan pilkada ini," kata ketua BPK Harry Azhar Aziz pekan lalu di DPR.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement