Selasa 02 Jun 2015 14:49 WIB

Juni Jadi Bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak

Rep: RR Laeny Sulistyawati/ Red: Yudha Manggala P Putra
Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri saat diwawancarai sejumlah wartawan di balai besar pengembangan latihan kerja dalam negeri, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Kamis (19/3). (foto : Septianjar Muharam)
Foto: Republika/Septianjar Muharam
Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri saat diwawancarai sejumlah wartawan di balai besar pengembangan latihan kerja dalam negeri, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Kamis (19/3). (foto : Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Indonesia M Hanif Dhakiri mencanangkan bulan Juni 2015 ini sebagai Bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak.

Dia mengatakan, pencanangan Bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak ini merupakan tonggak sejarah baru dalam penanganan dan penghapusan pekerja anak secara nasional.

“Pencanangan Juni sebagai bulan kampanye menentang pekerja anak akan memperkuat komitmen dan kerja sama antarlembaga untuk mencegah anak dijadikan pekerja di Indonesia,” katanya usai ditemui pada Pencanangan Bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak, di Kantor Kemenaker, di Jakarta, Senin (1/6).

Indonesia, kata dia, telah meratifikasi konvensi Organisasi Pekerja Internasional (ILO) yang berkomitmen menghapus pekerja anak di seluruh dunia. Kemudian ILO pada 2002 telah menetapkan 12 Juni sebagai Hari Dunia Menentang Pekerja Anak.

Deklarasi ini merupakan wadah untuk menentang pekerja anak yang dilaksanakan sebagai agenda rutin setiap tahun.

“Namun, kali ini kita tidak hanya memperingati sehari melainkan satu bulan untuk menentang pekerja anak,” ujarnya.

Hanif mengakui, masih banyak anak Indonesia yang tak bisa menikmati hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan.

Anak-anak yang mayoritas dari keluarga miskin bekerja sejak dini demi ikut mencukupi kebutuhan keluarga.

Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, jumlah anak Indonesia dengan usia 5-17 tahun sebanyak 58,8 juta. Namun, sebanyak 1,76 juta anak diantaranya menjadi pekerja. Dan 400 ribu anak diantaranya melakukan pekerjaan yang buruk dan berbahaya.

“Ketidakberdayaan orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak mereka terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, terjerumus dalam pekerjaan terburuk untuk anak,” ujarnya.

Untuk menangani dan menyelesaikan masalah pekerja anak, ia menegaskan dibutuhkan keterlibatan semua pihak, baik dari unsur pemerintah, pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kegiatan terpadu yang pihaknya lakukan sangat dibutuhkan agar upaya penghapusan pekerja anak dapat mencapai hasil maksimal, tentunya dengan mengembalikan mereka ke dunia pendidikan. “Anak-anak ini kemudian memperoleh pelatihan keterampilan sesuai dengan minatnya, memberdayakan dan meningkatkan kualitas kehidupan keluarganya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement