REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari empat poin islah yang diajukan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meredakan konflik antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono, terlihat kubu Ical tidak menunjukan itikad baik dalam menjalankan poin pertama. Di mana, menurut Direktur Populi Center Nico Harjanto, kubu Munas Bali tidak untuk mengedepankan kepentingan partai di atas kepentingan kelompok.
Nico menambahkan, hal itu semua bisa dibuktikan saat politisi kubu Ical masih meneruskan upaya dengan mendesak presiden mencopot Menkumham Yasonna Laoly serta mendesak pemerintah mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada.
“Itu semua menunjukan bahwa mereka tidak punya itikad baik untuk memajukan kepentingan Golkar, malah mengedepankan kepentingan kelompoknya,” katanya kepada Republika, Kamis (28/5).
Nico melanjutkan, jika kubu Ical ingin mengedepankan kepentingan Golkar, mereka seharusnya bisa saja mengakui kepengurusan Munas Ancol yang telah mendapat pengesahan dari MekKumham berdasar Mahkamah Partai Golkar. “Mereka kan bisa bertarung lagi tahun depan karena menurut Mahkamah Partai Golkar, Munaslub akan digelar tahun 2016,” ujarnya.
Sebelumnya, Wapres JK yang juga mantan ketua umum Golkar mengambil langkah untuk memediasi kedua kubu agar bisa mengikuti pilkada serentak yang digelar Desember mendatang. JK menawarkan empat poin yang nantinya akan dirundingkan masing-masing kubu.
Empat poin itu adalah pertama, JK meminta agar kedua kubu mementingkan kepentingan Partai Golkar di atas kepentingan kelompok. Kedua, JK mengusulkan adanya Tim Penjaringan. Tim ini yang akan mencari calon-calon kepala daerah yang akan diusung Golkar di masing-masing kabupaten atau kota dan provinsi di mana pilkada serentak digelar.
Tawaran ketiga adalah, calon-calon yang telah diseleksi oleh Tim Penjaringan, harus memiliki kriteria-kriteria yang disepakat oleh kedua kubu. Terakhir, merundingkan DPP yang berhak mengusung Golkar yang nantinya akan diakui KPU.