REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berbelitnya penyelesaian prostitusi di Indonesia dinilai bisa selesai dengan meniru regulasi antiprostitusi dari Swedia.
"Swedia juga bisa jadi referensi yang ideal. Negara ini sejak tahun 1999, sudah punya UU Anti Prostitusi," kata Wakil Ketua Komisi III DPD RI Fahira Idris, dalam rilisnya, Rabu (27/5).
Ia menjelaskan aturan hukum yang berlaku di Swedia fokus menyasar hukumannya kepada para lelaki hidung belang dengan denda puluhan juta atau penjara maksimum enam bulan.
Yang menarik, imbuh Fahira, di Swedia terdapat hukuman tambahan, yaitu rasa malu karena pelanggan PSK yang tertangkap akan disiarkan ke media.
“Tidak pandang bulu siapa saja akan diberlakukan sanksi sosial tersebut. Tentu ini juga memiliki dampak jera bagi para lelaki hidung belang,” katanya.
Ia mencontohkan seperti saat sejumlah hakim Swedia tertangkap basah dalam skandal prostitusi, termasuk hakim pengadilan tinggi yang akhirnya didenda pada tahun 2005. Hasilnya, hanya dalam waktu lima tahun sejak UU ini diterapkan jumlah prostitusi di Swedia turun 40 persen. Bahkan, saat ini sekarang angkanya malah sudah turun 80 persen.
Keberhasilan Swedia ini juga digunakan Finlandia, Norwegia, Islandia, Skotlandia, dan Prancis.
“Inilah yang harusnya bisa dicontoh di Indonesia untuk memberikan efek jera bagi para pengguna jasa. Selain itu tentunya hukuman bagi mucikari yang berperan memasarkan PSK yang perlu ditingkatkan hukumannya,” papar Fahira.