REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku penyebar beras yang diduga mempunyai kandungan plastik hingga kini belum diketahui jelas apa motif utamanya. Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas menganggap tidak sampai mengancam rencana pembuatan beras analog.
“Tapi mungkin saja memang terkait dengan rencana pembuatan beras analog itu, namun dampaknya hanya relatif kecil lah jika dikaitkan dengan beras analog. Karena beras analog kan terbuat dari bahan-bahan positif seperti umbi-umbian dan kentang, bukan dicampur dengan bahan kimia berbahaya,” kata Dwi kepada ROL, Rabu (26/5).
Lebih lanjut ia menjelaskan, dampak yang mungkin pasti terjadi lebih besar terhadap manajemen pangan di Indonesia. Menurutnya hal tersebut terjadi karena isu beras tersebut dilontarkan secara berlebihan.
“Ini saya kira dampaknya sudah terlihat di masayrakat kok,” ungkap Dwi. Menurutnya, kasus ini sama saja seperti fenomena sebelumnya dimana ada impor apel dari Amreka yang dikabarkan tercermar oleh bakteri listeria monocytogenes yang mematikan.
“Dari kasus tersebut ternyata setelah terdeteksi tidak mengandung bakteri karena bakteri tersebut hanya ada di daerah lokal bagian kecil Amerika saja. Akhirnya dampak yang terjadi di Indonesia konsumsi apel impor malah menurun dan anehnya malah apel impor Cina yang terkena dampak,” jelas Dwi,
Oleh karena itu, menurutnya kasus beras plastik mungkin secara garis besar bisa seperti kasus apel impor Amerika itu. Sehingga, masih menurut Dwi, dalam kasus ini ada pihak-pihak yang diuntungkan.
“Sekarang kan situasinya secara umum banyak yang mengkritisi kinerja pemerintah, sehingga seakan-akan isu ini dibuat untuk menilai bahwa pemerintah tidak mampu melindungi konsumen,” jelas Dwi.