Sabtu 23 May 2015 13:10 WIB

Kontroversi di Balik Sembilan Perempuan

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Presiden Joko Widodo membuat keputusan luar biasa mengejutkan. Pengumuman nama-nama Panitia Seleksi untuk Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis lalu mengundang perhatian banyak pihak.  

Sembilan nama telah ditetapkan menjadi pansel calon pimpinan KPK. Semuanya perempuan. Mungkin ini kali pertama terjadi, semua anggota tim panitia seleksi suatu lembaga penting negara terdiri atas perempuan.

Kesembilan nama anggota Pansel Pimpinan KPK itu adalah: Destry Damayanti (ketua pansel, ekonom kepala Bank Mandiri), Eni Nurbaningsih (hukum tata negara, kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham), Harkristuti Harkrisnowo (hukum pidana, dosen dan mantan dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham), Supra Wimbarti (dekan Fakultas Psikologi UGM), dan Yenti Garnasih (pidana pencucian uang, dosen FH Trisakti).

Kemudian Betti S Alisjahbana (pakar teknologi informasi, mantan general manager IBM ASEAN), Diani Sadiawati (direktur Analisa Perundang-undangan Bappenas), Natalia Subagyo (sekretaris Tim Independen Reformasi Birokrasi Kementerian PAN), dan Meuthia Ganie Rochman (sosiologi korupsi, dosen FISIP UI).

Sorotan pelbagai kalangan terutama mengarah pada dominasi gender tersebut. Ada beberapa pihak yang menyayangkan dominasi perempuan itu. Namun, tak sedikit pula yang memberikan dukungan atau apresiasi. Karena itu, komentar atas profil pansel KPK saat ini menjadi begitu santer dan kontroversial, dibanding pembentukan pansel KPK sebelumnya.

Bisa jadi ini merupakan salah satu strategi presiden dalam mencuri perhatian masyarakat. Kita tentu masih ingat tatkala menjadi wali kota Solo, Joko Widodo mengangkat perempuan sebagai kepala satuan polisi pamong praja (satpol PP) di kota tersebut. Itu pun merupakan kebijakan yang belum terjadi di wilayah lain.

Pada sisi lain, kepakaran anggota pansel di bidangnya mungkin tak perlu diragukan. Keahlian mereka juga beragam dan ini sangat diperlukan. Instansi atau lembaga tempat mereka berkiprah pun sudah menggambarkan reputasi mereka.

Lagi pula, sangat banyak persediaan orang ahli di negeri ini. Kalaupun para ahli itu dibutuhkan, tinggal selera yang memilih saja yang menentukan.

Secara kebetulan para personel pansel KPK itu tak termasuk figur publik atau ‘selebritis’ layar kaca. Mereka relatif sangat jarang muncul di depan kamera atau di media massa lain.

Barangkali hanya Harkrisuti Harkrisnowo yang paling dikenal masyarakat luas. Selain itu, Betti Alisjahbana dan Meuthia Ganie Rochman yang mungkin juga lebih populer namanya. Nama lainnya, bisa jadi terasa asing di telinga masyarakat.

Kalaupun ada yang sedikit kurang, dalam pandangan saya, adalah kiprah mereka terhadap gerakan nyata antikorupsi. Meski begitu saya percaya para anggota pansel ini adalah sosok yang tak pernah tertempel debu korupsi.

Bagi saya, syarat popularitas anggota pansel KPK bukanlah hal yang penting. Hal yang jauh lebih penting adalah produk yang akan mereka hasilkan nantinya. Salah satu masalah yang acap menjadi tudingan masyarakat selama ini --terhadap personel KPK-- adalah selalu saja ada jalinan berpilin-pilin antara beberapa personel pimpinan KPK dengan kekuatan politik yang ada.

Tatkala KPK menggebrak dan menangkap seseorang, nyaris selalu nyaring terdengar suara yang menuduh, bahwa ada agenda tersembunyi di balik penangkapan itu. Tak jarang pula yang berpendapat, upaya penangkapan atau penetapan status tersangka itu merupakan kebijakan tebang pilih dengan tujuan mendiskreditkan kelompok tertentu.

Hal-hal memberatkan semacam ini yang harus dienyahkan dari personel pimpinan KPK nanti. Itu menjadi tugas pantia seleksi, sehingga para calon pimpinan KPK yang akan diajukan ke presiden bisa terbebas dari stempel sebagai corong atau kepanjangan tangan partai.

Menilik keberadaan sembilan personel pansel KPK yang sepertinya tak terkontaminasi kepentingan partai politik, saya percaya mereka bisa membuat saringan lembut beraroma politik, sehingga yang lolos sebagai calon petinggi KPK nanti benar-benar bersih dari bau politik yang tak sedap. Sorotan sinis sebagian anggota masyarakat atas kredibilitas mereka, mestinya juga menjadi pelecut bagi pansel untuk membuktikan ketidakbenaran tudingan dan keraguan itu.

Tak sekadar bebas dari noktah-noktah politik, calon pimpinan KPK nanti pun harus memiliki nyali tak berujung. Artinya, tak ada garis batas ketakutan untuk menangkap seseorang, sepanjang dia adalah sosok yang terbukti kuat telah melakukan indikasi tindak pidana korupsi.

Saya tak sepakat dengan pandangan sebagian kalangan yang meminta agar cara KPK dalam menangkap tersangka korupsi lebih mengutamakan sopan santun. Rasanya itu tak perlu. Bukankah tindakan korupsi yang dilakukan seseorang itu sudah melampaui batas adab dan kesantunan? Untuk apa lagi harus bermanis-manis ria dalam menangkap para perusak moral dan kehidupan masyarakat ini?

Sebaik apa pun kerja pansel KPK nanti, masih ada dua hal lain yang memegang peran penting. Pertama proses seleksi pimpinan KPK (uji kepatutan dan kelayakan) di DPR. Jika DPR serius ingin melihat negara yang bersih dari sikap culas pelaku korupsi, maka anggota Dewan harus memilih mereka yang benar-benar mumpuni sebagai pimpinan KPK. Buang jauh-jauh skenario mencari calon pimpinan KPK yang membawa mandat dan titipan partai.

Hal lainnya adalah komitmen presiden. Sebersih dan setinggi apa pun semangat pimpinan KPK dalam menjalankan tugas, jika  komitmen presiden hanya sebatas ucapan, maka itu tak akan punya makna apa-apa. Keberpihakan presiden adalah bagaimana bisa membuat KPK menjadi berani, benar, dan kuat dalam menjalankan tugas, tanpa direcoki oleh masalah tetek bengek yang menjadi palang pintu gerak KPK.

Sebaiknya, jangan terlalu memaksa agar KPK lebih berkonsentrasi untuk melakukan pencegahan dan bukan tindakan terhadap segala bentuk perilaku pidana korupsi. Itu akan sangat sulit dilakukan. Hal ini lantaran sistem pengelolaan keuangan pemerintahan dan birokrasi secara umum tak berada di bawah kendali KPK.

Selain itu, unsur KPK tak ada di setiap lini pengelolaan keuangan negara. Bila ada beberapa personel KPK di setiap jajaran pengelolaan keuangan negara, baru kita bisa bicara pencegahan. Karena itulah, pencegahan korupsi sebenarnya menjadi tanggung jawab utama semua inspektorat atau badan pengawas. KPK mungkin hanya bisa membuat sistem atau cetak birunya saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement