Selasa 19 May 2015 09:26 WIB
Kontroversi Nada Membaca Alquran

Sejarawan: Percampuran Budaya Jawa dan Islam Bukan Hal Baru

Rep: c36/ Red: Agung Sasongko
Orang membaca Alquran.  (ilustrasi)
Foto: Mohammed Ballas/AP
Orang membaca Alquran. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sri Margana mengatakan, membaca Alquran dengan langgam Jawa merupakan bentuk membumikan ajaran Islam. Menurut dia, sejumlah pesantren juga mengembangkan metode yang hampir serupa dalam mengekspresikan Islam.

“Percampuran budaya antara Islam dengan Jawa sudah lama berlangsung. Sebenarnya, membaca Alquran menggunakan langgam Jawa bukan hal yang baru. Sebab, di Jawa sendiri sudah berkembang kesenian yang hampir serupa,” ujarnya saat dihubungi ROL, Senin (18/5).

Kesenian yang dimaksud Margana adalah tembang-tembang Jawa yang liriknya diambil dari terjemahan Alquran. Tembang-tembang itu berisi ajaran Islam, baik yang terkait peribadatan maupun petuah spiritual. “Ada pula kisah nabi-nabi atau penekanan pentingnya menyembah sang pencipta. Hingga saat ini, sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah masih memelihara tradisi ini,” tambahnya.

Margana sepakat jika seni yang dipadukan dengan Islam merupakan bentuk membumikan Islam dengan budaya nusantara. Menurut dia, membaca Alquran lewat langgam Jawa atau langgam dari daerah lain perlu diapresiasi sebagai bentuk kreativitas mengekspresikan Islam secara positif.

Meski saat ini Islam di Indonesia sudah menjadi bagian dari masyarakat mayoritas, lanjut dia, bukan berarti tidak perlu ada inovasi. Menurutnya, masyarakat modern tetap perlu didekatkan kepada Alquran, salah satu caranya lewat seni.

“Jalur seni relatif lebih diminati karena dekat dengan budaya masyarakat sehari-hari. Islamisasi tidak boleh sekedar ritual, melainkan ke seluruh aspek kehidupan,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement