REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapapun yang mendatangi Kabupaten Purwakarta akan disambut dengan gapura khas sunda di Jalan Veteran. Masyarakat di sana menyebutnya Gapura Indung Karahayuan.
Gapura ini ditemukan di banyak titik yang tersebar di Purwakarta. Pegiat tradisi sunda, Farid Farhan, menjelaskan makna gapura yang dibangun oleh Bupati Dedi Mulyadi ini. "Gapura itu asal katanya gafur dalam bahasa Arab. Artinya ampunan," ujar Farid, menjelaskan, Senin (18/5).
Farid menyebutkan, dari aspek bentuk gapura ini memiliki alas persegi berbentuk kubus. Bagian atas gapura ini memiliki tiga lekukan utama melambangkan Tri Tangtu Jaya Dibuana atau tiga ketentuan hidup.
Lekukan pertama melambangkan Rama yakni kaum cendekia atau akademisi. Mereka tidak boleh berpolitik. Lekukan kedua melambangkan Resi yakni kaum Agamawan, kode etiknya pun tidak boleh masuk kedalam ranah kehidupan politik.
Lekukan ketiga melambangkan Prabu, berarti politisi yang bertugas merumuskan dan menjalankan arah kebijakan negara. "Ketika Prabu keliru dalam mengolah negara maka kaum Rama dan Resi harus mengingatkan," imbuh Farid.
Kang Dedi Mulyadi, menurutnya, harus bersedia diingatkan masyarakat, baik itu dari kaum agamawan maupun intelektual. Hal ini bertujuan untuk membuat Purwakarta lebih baik.
Gerbang adalah pintu interaksi dengan dunia luar. Dengan Gapura, Purwakarta menawarkan keterbukaan dan keramahan pada dunia.
Sedangkan indung karahayuan merujuk kepada sosok ibu. Peribahasa sunda menyebut indung tunggul rahayu. Artinya, ibu adalah akar kemuliaan hidup. Manusia akan memperoleh kemuliaan manakala dirinya memperoleh pengampunan dari ibunya.
"Disini saya lihat Kang Dedi Mulyadi ingin agar orang tua harus menjadi rujukan dalam membuat kebijakan," imbuhnya.