REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Balai Besar Kerajinan dan Batik mendorong para perajin batik meningkatkan penggunaan pewarna alami untuk memproduksi batik tradisional karena dinilai memiliki potensi ekspor lebih besar.
"Kalau di dalam negeri peminatnya mungkin jarang karena lebih mahal, di pasar internasional seperti Eropa peminatnya justru lebih besar," kata Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Totosantoso di Yogyakarta, Jumat (15/5).
Menurut dia batik dengan pewarna alam lebih diminati konsumen mancanegara khususnya di Eropa, karena dinilai memiliki corak warna yang lebih halus, serta ramah lingkungan.
Selain itu, di era perdagangan bebas memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, dia menilai, batik motif tradisional dengan pewarna alam memiliki daya saing lebih tinggi dibanding dengan pewarna sintetis, apalagi batik printing.
Bachtiar menilai, kendati zat warna alam sudah populer di kalangan perajin batik nusantara termasuk Yogyakarta, namun belum banyak yang berani fokus memproduksi batik dengan menggunakan pewarna alam karena prosesnya dinilai lebih rumit dan mahal.
"Tentu saja pewarna sintetis selalu lebih diminati oleh perajin, karena bahannya tinggal beli di toko dan praktis," kata dia.
Dia mengakui untuk pangsa pasar dalam negeri, peminat batik dengan pewarna alam rata-rata hanya diminati oleh kalangan tertentu yang memiliki kesadaran tentang lingkungan."Disamping harganya yang lebih mahal dan terpaut jauh dari batik dengan pewarna sintetis," kata dia.
Menurut dia di pasar dalam negeri, batik dengan pewarna alamai bisa dijual dengan harga minimal Rp 500 ribu hingga di atas Rp 1 juta. Sementara pewarna sintetis dijual dengan harga minimal di bawah Rp 500 ribu.
Kepala Bidang Industri, Logam, Sandang, dan Aneka Disperindagkop Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Polin Napitupulu mengatakan industri kecil menengah (IKM) di Yogyakarta rata-rata mampu memproduksi 20 meter kain batik per hari.
Mereka mematok harga Rp 250.000-Rp 4.000.000 per lembar untuk batik tulis, dan mulai Rp 150.000 per lembar untuk batik cap. Adapun, nilai ekspor batik di DIY rata-rata mengalami peningkatan 5-10 persen setiap tahun. "Menang kalau untuk ekspor saat ini lebih ditekankan bagi produksi batik berbahan baku pewarna alam," kata dia.