REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa perkara yang menyangkut kode etik profesi sebaiknya diselesaikan secara etik melalui organisasi profesi atau tidak perlu dipidanakan.
"Hal-hal yang perlu diselesaikan lewat sistem etik seharusnya tidak harus diselesaikan melalui jalur hukum," tuturnya di Jakarta, Jumat (15/5).
Menurut dia, memenjarakan seseorang bukanlah sebuah solusi atas sebuah pelanggaran. Terlebih lagi, ujarnya, "saat ini penjara kita sudah melebihi kapasitas sehingga sanksi hukum pidana tidak akan berjalan dengan efektif".
Ia menjelaskan bahwa seharusnya ada perubahan standar, di mana hubungan hukum dan etika tidak dilihat secara atas bawah tetapi dilihat sebagai sebuah kolaborasi. "Hukum itu kapal, sedangkan etika samudra. Sesuatu yang melanggar hukum itu pasti melanggar etika, tapi jika sesuatu melanggar etika, belum tentu melanggar hukum," tuturnya.
Terkait dengan kasus dugaan pelanggaran etik yang disangkakan pada Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto, ia menyatakan bahwa hal tersebut sepatutnya diselesaikan melalui sistem etik oleh organisasi profesi advokat seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Ketua Dewan Penasihat Komnas HAM itu menyayangkan bahwa kasus tersebut sudah masuk ke tahap pelimpahan perkara ke Kejaksaan Agung sementara Peradi telah mengeluarkan surat hasil sidang Komisi Pengawas Advokat yang menyatakan bahwa Bambang Widjajanto tidak bersalah.
"Kasusnya BW sudah ditangani (hingga Kejaksaan) itu karena cara berpikirnya penyidik berbeda dengan hakim. Kalau hakim kan semua orang dianggap tidak salah sampai terbukti bersalah, sedangkan penyidik kan berpikirnya semua salah sampai terbukti bahwa dia tidak bersalah," tuturnya.
Jimly sendiri sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengaku telah memberhentikan sekitar 300 orang penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Ia juga menyebutkan bahwa sanksi pencopotan jabatan juga dialami oleh mantan Hakim Agung Achmad Yamanie karena pelanggaran kode etik.
"Dalam sejarah bangsa kita, baru satu kali hakim agung diberhentikan. Tapi sanksinya ya itu saja, tidak ada sanksi pidana," tutur Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan periode 2009-1010 itu.