Rabu 13 May 2015 19:42 WIB

Alumni Lintas Perguruan Tinggi Buat Petisi Desak Reformasi Polri

Rep: C14/ Red: Bayu Hermawan
Mabes Polri
Mabes Polri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alumni Lintas Perguruan Tinggi membuat petisi "Tekad Baru" untuk mendesak reformasi Polri. Alumni menilai sejak dipisahnya institusi Polri dari Angkatan Bersenjata atau TNI, belum tampak hasil yang memuaskan dalam bidang penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.

Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI), Chandra Motik mengatakan alih-alih demikian, secara kasat mata tampak adanya perlawanan secara konsisten terhadap upaya pemberantasan korupsi, terutama oleh oknum-oknum yang telah membajak institusi Polri.

Ia mengatakan Polri pasca-Reformasi 1998 justru seperti tanpa kontrol sehingga mampu memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus yang terkini, kata Chandra, dugaan kriminalisasi terhadap penyidik KPK.

Karena itu, lanjut Chandra, pihaknya dan sejumlah universitas yang tergabung dalam Alumni Lintas Perguruan Tinggi Se-Indonesia membuat Petisi "Tekad Baru". Poin-poin petisi ini antara lain mendesak agar kriminalisasi terhadap pimpinan atau staf KPK dihentikan. Selain itu, agar diberikan impunitas atau kekebalan hukum kepada pimpinan KPK selama bertugas.

"Ketiga, agar Presiden memberikan amnesti kepada polisi yang telah melakukan tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sampai dengan tahun 2010," ucap Chandra Motik dalam acara diskusi bertema "Presiden Diabaikan: Saatnya Reformasi Total Kepolisian untuk Selamatkan Demokrasi", Rabu (13/5) di Salemba, Jakarta.

Menurutnya, impunitas tersebut penting agar para pimpinan lembaga anti-risywah itu tidak lagi dikriminalisasi sehingga mereka bisa bekerja. Lantaran itu, kata Chandra, petisi ini juga mendesak agar dilakukan rekrutmen pimpinan KPK oleh panitia seleksi (pansel) yang independen.

Adapun amnesti untuk oknum kepolisian yang korup, kata Chandra, dilakukan dengan membentuk Satgas Kebenaran Korupsi yang terdiri atas anggota PPATK, KPK, Ombudsman, dan para tokoh masyarakat.

Ini untuk memeriksa keabsahan sumber penghasilan para aparat Polri hingga tahun 2010. Amnesti ini pun, menurut Chandra, urgen sebagai sebuah terobosan penegakan keadilan di Indonesia.

"Tim ini bekerja secara transparan selama satu tahun terhitung sejak berlakunya," sambung Chandra membacakan petisi.

Dengan begitu, lanjut dia, PPATK bisa menelusuri asal kekayaan milik seluruh oknum kepolisian. Selanjutnya, seperti disebutkan dalam butir (d) petisi, pejabat Polri yang punya harta dalam jumlah tidak wajar wajib memberikan pengakuan kepada Presiden.

"Presiden memberikan amnesti melalui Keputusan Presiden kepada polisi setelah polisi yang bersangkutan menyampaikan pengakuan. Dan permohonan maaf kepada rakyat dan negara melalui Presiden," ujar Chandra.

Khusus untuk aparat penegak hukum yang masih aktif, petisi ini mendesak bahwa bila aparat tersebut tak mampu membuktikan keabsahan sumber hartanya, maka harta tersebut segera disita negara. Namun pemilik harta haram ini tidak lantas dituntut pidana, melainkan hanya dikenakan sanksi administrasi.

"Kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi berupa pemberhentian sebagai anggota polisi, jaksa, pimpinan atau staf KPK, tetapi tidak dikenakan tuntutan pidana," kata Chandra membacakan petisi.

"Pembebasan dari tuntutan pidana tidak berlaku terhadap perolehan harta kekayaan yang tidak wajar oleh penegak hukum setelah verifikasi pelaporan," sambung dia.

Universitas-universitas yang mengajukan petisi ini selain UI sejauh ini,  antara lain IPB, ITB, UGM, dan Universitas Sam Ratulangi. Chandra menyebut, akan ada ikatan kampus-kampus lainnya yang segera menandatangani petisi ini.

"Jadi inilah hasil yang kita harapkan bisa diserahkan ke masyarakat, juga kepada Pak Jokowi," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement