Jumat 08 May 2015 23:46 WIB

Refly: Kekacauan akan Terjadi jika DPR Ngotot Revisi UU Parpol

Rep: C82/ Red: Bayu Hermawan
Refly Harun
Foto: Republika/ Wihdan
Refly Harun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai sebenarnya revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik adalah hal yang bisa saja terjadi.

Namun, revisi tersebut lucu karena dibuat bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk mewadahi kepentingan tertentu, bahkan pengurus parpol tertentu. Jika DPR tetap ngotot untuk merevisi, lanjutnya, maka akan muncul dampak yang luas di kemudian hari.

"Akan terjadi kekacauan, pelaksanaan pemilu akan diwarnai gugat menggugat yang tak ada habisnya. Bahkan, bukan tidak mungkin, ada yang mengajukan judicial review ke MK. Itu akan menghancurkan pada saatnya nanti," katanya di Kantor LBH Jakarta, Jumat (8/5).

Refly mengatakan, masyarakat sipil harus terus mendesak DPR agar tidak melanjutkan rencana revisi tersebut. Ia pun berharap agar anggota DPR yang tidak setuju dengan revisi untuk terus menguat agar tarik ulur di DPR dapat berlangsung lama. Jika tetap tidak berhasil, lanjutnya, jalan terakhir berada di tangan presiden sebagai pemegang kartu truf dalam pembentukan UU.

"Jika presiden tak setuju maka batal UU itu. Tapi dalam permainan politik tak bisa keluarkan kartu truf terus. DPR juga punya kartu truf, yaitu tak mau bahas jika pemerintah mengajukan RUU," jelasnya.

Ia menjelaskan, dalam sistem tata negara Indonesia, presiden memiliki kewenangan legislasi yang sama seperti DPR. Jika RUU yang dibuat DPR bukan untuk kepentingan masyarakat dan hanya memenuhi keinginan kelompok tertentu, lanjutnya, maka presiden bisa menolak RUU tersebut melalui dua cara.

Cara pertama, kata Refly, yakni menolak membahas RUU tersebut dengan mengirimkan surat penolakan ke DPR dan tidak mengirimkan menteri.

"Tapi itu belum pernah dilakukan presiden karena ada etika kenegaraan kalau melakukan hal itu bisa saja akan dibalas DPR. Cara lain, yaitu menolak di akhir menjelang persetujuan di paripurna atau sebelum paripurna," katanya.

Menurut Refly, cara kedua lebih baik dilakukan karena dianggap lebih halus. Namun, lanjutnya, karena revisi UU tersebut sudah aneh sejak awal, maka presiden sebaiknya menolak saja revisi tersebut di awal sebelum pembahasan dimulai.

"Jika di akhir maka presiden sudah terikat untuk membahas dan menyetujui. Ngapain dari awal kalau pada akhirnya ditolak. Jadi dari awal saja. Tapi masa bicara penolakan tapi RUU-nya belum jadi. Kalau nanti sudah jadi dan diberikan ke presiden baru nanti bisa bersikap," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement