Jumat 08 May 2015 06:00 WIB

Memompakan Optimisme

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Selasa (5/5) malam, Presiden Joko Widodo mengundang 17 wartawan senior ke Istana Negara. Topiknya dibatasi hanya membicarakan soal ekonomi. Namun, di sana-sini tetap saja menyinggung soal lainnya, termasuk kinerja menteri. Bahkan, Presiden menyebut secara eksplisit dua menteri yang kinerjanya tak jelas dan tak sesuai paparannya.

Acara itu dipandu Teten Masduki, pegiat antikorupsi yang kini membantu Jokowi. Presiden juga didampingi Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan dan Mensesneg Pratikno. Tiga deputi staf kepresidenan juga hadir. Hadir pula Sukardi Rinakit dan AAGN Ari Dwipayana, pengamat dan akademisi yang kini menjadi staf khusus. Pembicaraan yang diselingi makan malam itu berlangsung rileks.

Presiden memaparkan apa saja yang sudah dilakukan pemerintahannya. Mulai dari proses APBNP yang baru disetujui DPR pada 13 Februari 2015 hingga soal diplomasi dan blusukan. Ia juga mengubah rapat-rapat kabinet. Ia tak lagi mengadakan rapat yang melibatkan banyak menteri.

Ia mengubahnya menjadi rapat-rapat terbatas tetapi sering. Hingga kini sudah ada 65 rapat terbatas, bandingkan dengan sidang kabinet yang 12 kali hingga April lalu. Rapat pun tak perlu lama-lama, cukup 1,5 jam tetapi sudah ada keputusan. Tema rapat didominasi soal ekonomi (51 kali), disusul soal polhukam (13), PMK (13), dan maritim (8).

Pertemuan-pertemuan diplomasi pun ia ubah. Pertemuan yang melibatkan banyak pejabat tetap ada meski tak lama. Setelah itu ia hanya berbicara empat mata, terutama dengan investor besar seperti Jepang, Cina, Singapura, bahkan dengan CEO top dunia.

Pertemuan empat mata itu berlangsung lebih lama. Ia akan bicara to the point pada orang-orang itu. Pola-pola itu ia nilai lebih efektif. Presiden pun memiliki data real time perkembangan pengerjaan proyek pembangunan. Dengan demikian ia bisa memonitornya secara akurat.

Setelah melalui proses administratif pemerintahan, sebagian kecil dana APBN mulai mencair ke masyarakat sejak akhir April. Sedangkan, yang harus melalui tender atau lelang butuh proses 2-3 bulan.

Untuk memperlihatkan kerja pemerintah, Jokowi juga aktif melakukan peresmian proyek-proyek pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia, misalnya pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, pelabuhan, waduk, dan sebagainya. Ia juga aktif menggaet investor internasional untuk pembangunan transportasi massal kereta api cepat jarak jauh trans-Sumatra dan trans-Jawa maupun kereta api cepat Jabodetabek. Pola pengerjaan jalan tol yang semula menunggu tuntas pembebasan lahan per seksi diubah menjadi tak dibatasi pembebasan lahan. Ini agar pembangunan bisa berjalan segera.

Pembangunan infrastruktur memang prioritas pertama Jokowi. Hanya dengan cara itu biaya logistik menjadi jauh lebih murah dan waktu tempuh menjadi lebih cepat. Hanya dengan cara itu investor di bidang-bidang lain akan datang dengan sendirinya. Di sisi lain, mobilitas sosial juga lebih mudah. Dengan demikian, program hilirisasi industri yang juga ia kampanyekan bisa lebih mudah dikerjakan.

Sedangkan, prioritas kedua adalah sektor pariwisata. Langkah pertama adalah menambah fasilitas bebas visa untuk 30 negara sehingga total ada 45 negara, sejak Maret. Dengan destinasi wisata Indonesia yang beragam dan multisegmen, semestinya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara bisa lebih tinggi dari Malaysia. Namun, nyatanya hanya ada kurang dari 10 juta per tahun. Sedangkan, Malaysia bisa meraih sekitar 24 juta wisatawan.

Jokowi mengakui pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan. Namun, itu sudah terjadi sejak 2012. Kebetulan, kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laporan perkembangan ekonomi pada kuartal pertama 2015. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,71 persen. Angka terendah sejak 2009.

Hal ini sudah bisa diduga. Pertama, harga minyak jatuh. Kedua, harga komoditas jatuh. Ketiga, tren penurunan ekonomi global. Di sisi lain, daya beli di dalam negeri juga merosot menyusul kenaikan harga BBM serta sejumlah tarif lain.

Selain itu, juga lambatnya pengesahan APBNP. Bagi Jokowi, angka pertumbuhan itu masih tetap bagus dengan situasi domestik maupun global yang sedang melandai. Namun, ia optimistis, setelah ini ekonomi akan berbalik naik. Data-data awal pun ia tunjukkan. Ada tren peningkatan di sejumlah sektor. Pada akhir tahun bahkan akan lebih terlihat lagi.

Wajah dan nada optimistis Jokowi demikian kentara. Langkah-langkah sistematis yang ia lakukan juga dikemukakan secara gamblang. Namun, pers dan publik tak menangkap semua itu. Ada jurang. Ada problem komunikasi di pemerintahan. Publik hanya menangkap kebijakan kenaikan harga BBM, tarif listrik, harga gas, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok terutama beras.

Pada sisi lain publik juga hanya menangkap kegaduhan politik di tingkat elite yang sama sekali tak terkait dengan kehidupan rakyat banyak. Ada kekhawatiran yang dominan dari publik bahwa soliditas pemerintah yang lemah akan terpelihara secara permanen.

Namun, Jokowi membantah. Ia buktikan dengan mulusnya proses politik di DPR, seperti soal APBNP maupun soal persetujuan kapolri. Ia memang mengakui ada kegaduhan. Mengenai pencabutan subsidi, ia juga menyebutnya sebagai pil pahit yang akan menyehatkan, terutama akan terasa setelah tiga tahun. Harus diakui, dampak negatif kebijakan itu lebih banyak menghantam penduduk kelas menengah-bawah, sedangkan penduduk menengah-atas relatif masih bisa mengatasinya.

Memang, sejarah umat manusia selalu sejarah pengorbanan dan penderitaan dari warga kelas bawah. Peter L Berger, seorang sosiolog ternama, mencatat, semua orang ibarat burung hering yang hidup dari penderitaan masa silam. Makin ditarik ke masa yang lebih jauh ke belakang, maka monumen penderitaan itu semakin massal dan kasat mata.

Melihat monumen-monumen piramida sejatinya menyaksikan monumen pengorbanan mereka itu. Dan kitalah si burung hering itu, pemakan bangkai orang-orang yang 'dikorbankan'. “Para ahli sejarah mahir sekali dalam menguburkan kesengsaraan manusia perorangan yang dianggap sepele ke dalam apa yang disebut perbuatan-perbuatan agung atau magnalia,” kata Berger.

Kata Berger, rumus yang lazim digunakan untuk memberikan pembenaran semacam itu kira-kira sebagai berikut, “Peristiwa X menyebabkan penderitaan besar bagi banyak orang yang mengalaminya pada waktu itu, tetapi akhirnya membawa suatu kebaikan karena peristiwa itu menimbulkan peristiwa Y”.

Kita mengungkap ini bukan hendak menggugat. Tapi kita harus menyadari pengorbanan mereka, yang sering hanya kita lihat sebagai angka statistik belaka. Dengan mengingat pengorbanan mereka, maka kita bertanggung jawab untuk membongkar akar struktural dari situasi saat ini. Optimisme kita harus dialasi kesadaran, bukan optimisme di ruang hampa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement