REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku heran dengan sikap KPU yang menolak rekomendasi dari Komisi II.
Rekomendasi yang ditolak berbunyi jika inkracht dan islah tak terwujud, KPU dapat memutuskan kepengurusan yang berhak mengajukan pasangan calon adalah kepengurusan Parpol yang telah mendapatkan putusan pengadilan terakhir.
Fadli mengatakan, jika hanya menyetujui dua poin lain, yaitu harus ada keputusan inkracht dan melakukan islah, tidak ada jaminan bagi parpol yang sedang bersengketa untuk dapat menyelesaikan masalah internalnya sebelum tahapan Pilkada dimulai.
"Bagaimana kita bisa memaksa itu inkracht karena itu kewenangan pengadilan. Kedua, islah itu jalan bagus, tapi siapa bisa jamin itu terjadi. Harus ada jalan lain kalau tidak bisa keduanya, yaitu putusan terakhir yang ada. Apakah itu putusan PTUN, atau lainnya," jelasnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/5).
Ia menilai, jika tidak ingin mengganggu tahapan Pemilu, KPU seharusnya menerima rekomendasi Komisi II. Apalagi, lanjutnya, Parpol sebagai stakeholder utama dan peserta Pilkada telah menerima rekomendasi tersebut. Rekomendasi tersebut pun, lanjutnya hanya disepakati untuk Pilkada serentak 2015 saja.
"KPU ini cukup aneh. Dia tidak mau menyelesaikan masalah menurut saya dengan seperti itu. Sehingga kalau ada konflik sosial dan politik di daerah, ini gara-gara KPU. Karena KPU yang buat masalah ini tidak selesai seolah berlindung dibalik UU. Padahal rekomendasi Komisi II tidak menyalahi UU manapun," jelasnya lagi.
Politikus Partai Gerindra itu pun menilai, lembaga yang dipimpin oleh Husni Kamil Manik tersebut bermasalah. Bahkan, ia menyebut para komisioner KPU lah yang menjadi dalang permasalahan tersebut.
"Komisioner KPU ini bermasalah dari pemilu lalu. Orang-orang ini punya muatan politik menurut saya. Coba bayangkan, orang mau balapan, peserta udah setuju tapi dia tentukan aturan sendiri," kata Fadli.
Oleh karena itu, lanjut Fadli, muncul wacana agar KPU diisi oleh orang parpol dan profesional. Hal tersebut, lanjutnya, pernah terjadi pada tahun 1999 dan saat itu pemilu berjalan baik karena setiap parpol bisa saling mengontrol.
"Kalau begini gampang dimainkan jadi alat politik. Bagus, kalau (komisioner sekarang) bisa dilengeserkan. Tapi ini jadi pelajaran saja. Bahwa orang-orang yang muatan politis di KPU seperti ini akan merusak demokrasi kita," ujarnya.