REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Petani tebu mengharapkan wacana penghapusan subsidi pupuk tidak direalisasikan karena akan merugikan petani dalam mengembangkan tanaman penghasil gula putih tersebut.
Menurut Wakil Sekjen DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin di Kudus, Jumat (1/5), penghapusan subsidi pupuk petani tebu jelas tidak adil karena dalam kondisi sekarang dengan tetap mendapatkan subsidi pupuk petani masih sering merugi.
Jika wacana penghapusan subsidi pupuk dipaksakan, kata dia, petani jelas akan terbebani karena harga pupuk nonsubsidi dipastikan jauh lebih mahal.
Pembatasan pemberian pupuk bersubsidi terhadap pengelolaan lahan maksimal 2 hektare, kata dia, dianggap juga perlakuan yang kurang adil terhadap petani tebu.
Padahal, lanjut dia, petani tebu tidak bisa disamakan dengan petani yang selama ini menanam tanaman padi yang bisa panen hingga tiga kali, sedangkan petani tebu hanya sekali dalam setahun.
Ia berharap, pemerintah membatalkan rencana penghapusan subsidi pupuk untuk petani tebu.
Kebutuhan pupuk para petani tebu untuk lahan seluas 2 hektare, kata dia, bisa mencapai 2,5 ton per tahun dengan persentase 60 persen untuk pupuk ZA dan 40 persen pupuk phonska.
Selain menuntut pembatalan penghapusan subsidi pupuk, APTRI juga menuntut pemerintah segera menetapkan harga patokan petani (HPP) gula sebelum musim panen.
"Hasil penghitungan kami, HPP gula yang layak diterima petani sebesar Rp 11.765 per kilogram," ujarnya.
Usulan tersebut, lanjut dia, memang berbeda dengan usulan tim independen yang dibentuk Kementerian Pertanian HPP gula disebutkan sebesar Rp 9.750/kg atau hanya naik Rp 1.250 dibandingkan HPP tahun lalu.
Apabila pemerintah menginginkan kesejahteraan petani tebu semakin meningkat, kata dia, pemerintah harus berani menetapkan HPP sesuai usulan APTRI.
Wacana penghapusan subsidi pupuk disampaikan langsung oleh Menteri Badan Urusan Milik Negara (BUMN) Rini M. Soemarno ketika berkunjung ke Pabrik Gula Rendeng Kudus pada 25 Mei 2015.
Dengan adanya penyediaan pupuk nonsubsidi khusus untuk komoditas tanaman tebu, diharapkan petani tebu mendapatkan jaminan ketersediaan di lapangan.
Hal tersebut dianggap sebagai salah satu solusi menyelesaikan permasalahan petani tebu yang selama ini berharap mendapatkan pupuk bersubsidi, namun aturannya hanya untuk petani dengan lahan garapan maksimal 2 hektare.
Apalagi, harga gula petani nantinya juga ditentukan berdasarkan harga patokan yang memperhitungkan harga pupuk tersebut, sehingga ketika harga pupuknya tidak bersubsidi tentunya akan terefleksi pula dengan harga jual gula petani.