Kamis 30 Apr 2015 16:32 WIB

Jateng Diminta Atur Maraknya Buruh Rumahan

Hari Buruh Internasional. Ilustrasi.
Foto: Reuters
Hari Buruh Internasional. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pemerintah Provinsi Jawa Tengah diminta segera mengatur maraknya praktik buruh rumahan (home base worker) yang muncul akibat tekanan kompetisi global dan tidak adanya perlindungan hukum.

"Kami mendorong Gubernur Jateng membuat sebuah regulasi yang melindungi buruh rumahan yang diatur sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagai bentuk perlindungan," kata Koordinator Yayasan Annisa Swasti Jawa Tengah Rima Astuti di Semarang, Kamis (30/4).

Hal tersebut disampaikan Rima di sela pembentukan Koalisi Civil Society Organitation Jawa Tengah yang terdiri dari 24 CSO di berbagai wilayah di provinsi setempat guna mendorong tata kelola pemerintah daerah yang efektif serta efisien.

Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penelitian pihaknya, tercatat lebih dari 5.000 buruh rumahan yang tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Pekalongan dengan didominasi oleh perempuan.

Menurut dia, praktik buruh rumahan yang sudah lama terjadi, khususnya di sektor bisnis makanan, garmen, dan pengolahan kulit, dinilai merugikan orang yang menjalaninya karena upahnya di bawah upah minimum kabupaten/kota, jam kerja yang panjang, serta rawan pekerja anak.

"Praktik buruh rumahan sangat menguntungkan pihak perusahaan karena ditengarai bisa mengurangi biaya produksi antara 40-50 persen," ujarnya.

Selain itu, kata dia, pengusaha tidak perlu membayar upah sesuai UMK, tidak harus membayar jaminan kecelakaan kerja, kesehatan, pajak, dan tunjangan hari raya setiap tahun.

"Masalah lain akibat praktik buruh rumahan ini adalah hilangnya pendapatan pajak pemerintah karena hanpir semua transaksi buruh rumahan tidak tersentuh pajak," katanya.

Menurut dia, para buruh rumahan yang bekerja di sektor garmen rata-rata mendapat upah antara Rp 90 ribu hingga Rp 300 ribu atau menerima Rp 800 per sepuluh baju yang dikerjakan. "Praktik buruh rumahan juga memperlemah gerakan buruh karena para pekerja menjadi tidak terorganisir," katanya.

Rima mengaku tidak setuju jika Dinas Tenaga Kerja tidak mengakui keberadaan buruh rumahan dan berpandangan bahwa buruh rumahan itu sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi serta untuk mengisi waktu luang.

"Para buruh rumahan itu mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, ada target waktu penyelesaian, serta tidak merupakan pekerjaan sambilan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement