REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan persoalan kewenangan pertanahan daerah Provinsi Aceh sudah selesai, terutama menyangkut pertanahan.
"Sudah (selesai semua), kita sudah 'clear' kok, tidak ada masalah. Hanya masalah pertanahan yang sudah ada PP-nya itu, jadi mereka (Aceh) perlu penjelasan saja," kata Mendagri, usai rapat koordinasi di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Kamis (30/4).
Rapat koordinasi antara Pusat dan pemerintah daerah Aceh dilakukan di Kantor Wakil Presiden dengan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wali Nangroe Aceh Malik Mahmud, Plt. Dirjen Otonomi Daerah Susilo dan Dirjen Keuangan Daerah Reydonnizar Moenek.
Mendagri mengatakan dalam rapat tersebut hanya membahas mengenai penjelasan lebih rinci dari Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh.
Dalam PP tersebut dijelaskan Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan di Aceh, termasuk bidang pertanahan. Oleh karena itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan akan ke Aceh untuk menjelaskan rincian kewenangan Aceh.
"Nanti Pak Ferry akan ke sana (Aceh) untuk menjelaskan, karena intinya Menteri ingin pegawai BPN di Aceh berskala nasional sehingga nanti bisa dipindah ke Jakarta atau Papua," ucapnya.
Namun, lanjut Tjahjo, masih ada perbedaan persepsi di Pemda Aceh yang memahami jabatan kepala BPN tersebut hanya melingkupi area lokal.
"Tetapi ada pemahaman, Aceh ya Aceh, jadi kewenangannya hanya lingkup daerah saja. Jadi ini sudah tidak masalah, nanti Pak Ferry, akan datang ke Aceh dan menjelaskan di situ," jelasnya.
Terkait kewenangan pertanahan oleh Pemerintah Aceh, Pemerintah telah memberikan dua tambahan kewenangan dibandingkan daerah lain. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemprov dan Pemkab-Pemkot, setiap daerah maksimal hanya memperoleh sembilan kewenangan terkait pertanahan.
Sembilan kewenangan itu adalah izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. Berikutnya, penetapan subyek dan obyek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, dan perencanaan penggunaan tanah wilayah.
Khusus untuk Aceh, Pemerintah Pusat memberikan tambahan kewenangan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab Pemerintah berdasarkan Perjanjian Helsinki.