Oleh: Nasihin Masha
Pemimpin Redaksi Republika
Joseph E Stiglitz, dalam salah satu buku, yang terbit pada 2012, pada bab pertamanya, langsung menghentak. Ia menggugat dominasi satu persen kelompok penduduk terhadap seluruh negeri. Memang ia bercerita tentang kondisi di negerinya, Amerika Serikat.
Buku berjudul The Price of Inequality itu sangat pas untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Satu persen orang menguasai 65 persen pendapatan nasional AS. Stiglitz, sebagai peraih Nobel ekonomi, hanya bercerita tentang negerinya. Namun, faktor-faktor penyebab inequality itu juga terjadi di banyak negeri. Sebagai negara terkuat ekonominya, apa yang terjadi di AS akan berpengaruh di negara-negara lain. Karena itu, apa yang ditulis Stiglitz bisa bertendensi memotret dunia lewat negeri paling berkuasa di jagat raya ini.
Pidato Presiden Joko Widodo pada peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika menggugat ketimpangan global. Presiden tak hanya menuntut keharusan reformasi PBB, tapi juga membuang jalan pikiran bahwa IMF dan Bank Dunia sebagai satu-satunya solusi dunia --dua institusi yang banyak dipengaruhi AS. Ada situasi struktural yang membuat dunia tak mudah.
Dalam iklim globalisasi, dan senyatanya, ketimpangan itu inline di banyak negara, maka kita wajib melihat kondisi di dalam negeri sendiri. Mari kita lihat. Sekitar 60 persen uang beredar di Jakarta. Sumbangan wilayah ini terhadap PDB nasional sekitar 40 persen.
Data lain menyebutkan, ada 35 grup perusahaan keuangan di Indonesia menguasai sekitar Rp 6.000 triliun dari sekitar Rp 9.000 triliun pasar keuangan. Jika minus BUMN dan asing, ada 23 grup perusahaan atau bisa disederhanakan ke dalam 23 keluarga yang menguasai sekitar Rp 4.000 triliun atau 44 persen dari total pasar keuangan.
Bayangkan, 23 keluarga menguasai 44 persen pasar keuangan nasional. Jika berdasarkan simpanan masyarakat di bank, per 15 Februari 2015, pemilik minimal Rp 5 miliar simpanan, ada 0,05 persen rekening menguasai 46 persen total simpanan (total tabungan Rp 4.222 triliun). Jika minimal simpanannya Rp 2 miliar, maka ada 0,14 persen menguasai 56,1 persen simpanan. Lebih tragis dari AS.
Tak heran jika indeks gini rasio Indonesia terus meningkat, dari 0,38 di akhir Orde Baru menjadi 0,43 saat ini. Indeks ini merupakan indikator ketimpangan. Makin besar indeksnya, makin timpang antara orang kaya dan orang miskin.
Situasi struktural itu berkorelasi dengan kondisi politik yang oligarkis dan plutokratis --dengan senjata korupsi, kolusi, dan nepotisme. Arah politik hanya ditentukan segelintir elite politik dan orang kaya di Jakarta. Melalui penguasaan sumber daya, sumber dana, serta jaringan organisasi dan pembentuk opini, maka di setiap titik perubahan, mereka bisa memanipulasi apa pun. Pilihan kita saat pilkada atau pemilu dipengaruhi persepsi kita tentang partai atau kandidat. Persepsi itu dibentuk lewat penggalangan massa maupun opini oleh orang-orang Jakarta.
Namun, gerak sejarah tak selalu memilukan. Selalu ada cahaya di setiap lorong. Seiring hadirnya demokrasi sejak masa reformasi, kekuatan arus bawah mulai muncul di sana-sini. Awalnya satu-dua, kini mulai bertambah tiga-empat bahkan bisa lebih banyak lagi.
Setiap tahun, sejak 10 tahun lalu, Republika secara rutin mengadakan anugerah Tokoh Perubahan Republika. Anugerah ini diberikan kepada figur-figur yang membawa perubahan di lingkungan sekitarnya dan membawa Indonesia ke tahap yang lebih baik. Sebagian ada yang sudah terkenal sejak awal, sebagian ada yang makin moncer di kemudian hari.
Tentu bukan karena faktor anugerahnya, tapi karena kinerja yang bersangkutan. Jika kemudian tokoh itu makin berkibar, menunjukkan penganugerahan tersebut didasarkan pada penilaian yang akurat. Salah satu tokoh penting penerima anugerah itu adalah Joko Widodo, pada 2010, yang saat itu wali kota Solo. Kini, ia menjadi presiden. Daerah merebut Jakarta.
Penerima anugerah
Untuk tahun ini, anugerah Tokoh Perubahan Republika diberikan ke Abdullah Azwar Anas (bupati Banyuwangi, Jawa Timur), Tri Rismaharini (wali kota Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan), Din Syamsuddin (ketua umum PP Muhammadiyah), serta Bhayu Subrata dan Pratama Widodo (inisiator One Day One Juz, Purwokerto, Jawa Tengah).
Anas, panggilan bupati Banyuwangi, adalah figur energik dan kreatif. Mengawali karier sebagai ketua umum Ikatan Pelajar NU, lalu menjadi anggota DPR dari PKB. Setelah itu ia memilih memajukan daerahnya, kembali ke kampung daripada sibuk dalam kegaduhan Jakarta.
Anak muda lulusan Universitas Indonesia ini benar-benar kreatif. Wilayah Banyuwangi yang terisolasi dan berada di sudut paling timur Pulau Jawa ini adalah daerah terbelakang dan miskin. Satu-satunya potensi yang bisa digerakkan adalah alamnya yang indah. Rasanya mustahil membangun pariwisata di wilayah tak dikenal. Justru di situ kemampuannya diuji.
Ia menggelar beragam festival seni dan budaya. Tahun ini ada 38 festival. Pengembangan pariwisata ini membuat denyut ekonomi bergerak. Sektor pariwisata naik 480 persen. Muncul hotel-hotel dan lahir bandara. Layanan publik dan birokrasi dibenahi, berbasiskan IT. Kemudahan, komunikasi diselesaikan dengan membuat 1.400 titik wifi. Tak heran jika Banyuwangi juara digital society. Angka kemiskinan turun drastis, dari 20,4 persen menjadi 9,6 persen. Ada 13 lokalisasi yang ditutup dalam empat tahun ini.
Prestasi Risma, Wali Kota Surabaya, sudah lebih banyak dikenal. Kota ini sudah tak mengenal banjir lagi. Ia menata sungai dan saluran air. Surabaya yang gersang dan panas ia sulap menjadi hijau dan banyak taman. Kuburan pun disulap menjadi resik dan indah, walau di malam hari.
Wanita besi ini dikenal tandang ke lapangan --bahkan suatu kali tangannya patah. Lulusan ITS ini berkarier sebagai birokrat. Saat menjadi kepala dinas pertamanan, namanya moncer berkat programnya menata taman. Ketika didapuk menjadi wali kota, program penataan taman ini ia lanjutkan.
Ia juga berhasil menutup lokalisasi terbesar, konon se-Asia Tenggara, Dolly. Tentu tak mudah. Ini menyangkut uang yang besar dan banyak pihak yang ikut menikmati bisnis kotor ini. Dengan sabar, persuasif, tapi tegas, ia terus melangkah tanpa gentar.
Publik luas tak banyak mengenal Nurdin. Mungkin karena dia dari Bantaeng, wilayah kecil di Sulawesi. Namun, bagi pemerhati kebijakan dan kalangan pers, pria ini sangat dikenal. Ia pribadi sederhana dan mudah bergaul. Ia mengawali karier sebagai dosen di Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia memang lulusan fakultas pertanian di universitas ini.
Program S2 dan S3-nya ditempuh di Jepang. Tak heran jika ia merupakan bupati dengan gelar akademik yang lengkap, Prof Dr Ir, dan MAgr. Ia dikenal ahli benih. Karena itu, ia bertekad menjadikan Bantaeng sebagai kota benih. Ia juga memajukan pertanian dengan beragam tanaman pangan. Sektor peternakan ia sentuh, demikian pula layanan publik dan birokrasi dimodernisasi.
Bhayu dan Pratama adalah dua anak muda yang tak berhenti pada kesedihan, tapi mengubahnya menjadi daya. Energi untuk berbuat dan melangkah. Kesibukan manusia membuat kebiasaan bertadarus Alquran makin berkurang. Orang-orang lebih sibuk dengan smartphone untuk ngerumpi, diskusi, ataupun kegiatan lainnya secara virtual.
Kenyataan itulah yang mereka ubah. Mereka memanfaatkan betul kehadiran media sosial, seperti blog, SMS, Facebook, Twitter, dan messenger. Komunitas di media sosial yang biasanya untuk ngerumpi ataupun diskusi berat ia ubah untuk bertadarus bersama. Tak perlu kumpul bersama di masjid, mushala, atau di majelis, tapi cukup berkumpul secara virtual.
Dengan nama yang mudah diingat dan terkesan gaul --One Day One Juz (ODOJ)-- komunitas ini bergulir cepat. Berawal dari kota kecil Purwokerto, komunitas ini merebak ke seantero nusantara. Bahkan, menjadi mode pergaulan itu sendiri. Mereka adalah mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman yang kreatif.
Din adalah figur terkenal sejak muda, terutama saat menjadi ketua umum Pemuda Muhammadiyah. Ia juga dikenal sebagai intelektual. Pria asli Bima, Nusa Tenggara Barat, ini awalnya berkiprah sebagai dosen. Keterlibatannya di organisasi pemuda membuatnya sempat masuk pusaran politik.
Namun, sejak menjadi ketua umum Muhammadiyah, ia lebih fokus pada masalah agama dan kebangsaan. Pria yang mengawali pendidikan dasarnya di Pondok Gontor dan meraih gelar doktornya di AS ini juga aktif di kegiatan interfaith dialogue yang menyerukan dan memperjuangkan perdamaian antarkeyakinan dan agama. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
Ia aktif di banyak fora internasional. Seiring merebaknya liberalisasi ekonomi, Din membuat gerakan Jihad Konstitusi, yang dimulai pada 2011. Gerakan ini kelanjutan dari pidato Din pada peringatan satu abad Muhammadiyah. Tujuannya untuk meluruskan kiblat bangsa, untuk kembali kepada semangat proklamasi dan semangat 1945. Ia membentuk tim dan ia pimpin langsung. Tim berasal dari pengurus Muhammadiyah, akademisi, pakar, advokat, serta dari ormas lain maupun tokoh perorangan.
Mereka mengkaji perundang-undangan dan mengujinya dengan UUD 1945. Hasil kajiannya itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Gerakan melawan liberalisasi ekonomi pun menjadi lebih sistematis. Mereka berhasil menggagalkan liberalisasi migas, sumber daya air, ormas, dan rumah sakit. Saat ini mereka sedang mengajukan gugatan ke MK ihwal lalu lintas devisa dan nilai tukar uang, penanaman modal, dan ketenagalistrikan.
Ciri khusus
Penerima anugeran Tokoh Perubahan Republika kali ini memberikan ciri khusus: mereka adalah para pemimpin daerah dan bergerak di akar rumput. Ini akan menguatkan civil society dan menggelorakan pemerataan ekonomi. Sedangkan Din bergerak di level suprastruktur.
Seperti kata Stiglitz, “Market forces are shaped by politics, by the rules and regulations that we as a society adopt, by the way our institution (like the Federal Reserve, our central bank, and other reguatory agencies) behave.” Dengan kuatnya daerah sekaligus akan menjadikan daerah sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang mekar secara organik dan daerah menjadi magnet kuat yang membuat mereka memiliki daya tawar tinggi terhadap pusat. Mereka akan menjadi otonom dengan sendirinya.
Bermunculannya para tokoh daerah juga menunjukkan bermekarannya para pemimpin dari daerah. Ini memberikan alternatif bagi bangsa ini dalam hal rekrutmen pemimpin bangsa. Tak melulu berwajah pusat, yang tumbuh dengan gelimang Jakarta yang identik dengan kekotoran, kerakusan, dan terkooptasi asing dan para pemilik uang.
Kita berharap ini menjadi pertanda akan lebih banyak lagi lahir pemimpin daerah yang memakmurkan dan menyejahterakan warganya. Para pemimpin daerah cenderung memiliki lanskap khas dan memiliki diferensiasi mencolok dibandingkan langgam pemimpin pusat.
Ini karena mereka berlumpur dengan masyarakatnya dan bergumul dengan budayanya secara lebih kental. Mereka lebih berakar pada tradisi dan masyarakatnya. Mereka bukan pemimpin karbitan, dan bukan pemimpin yang mudah berlutut kala menatap ke atas. Mereka bukan pemimpin yang ditetas patron, tapi justru dierami rakyat. Dengan menoleh ke daerah membuat kita menjadi optimistis menatap masa depan Indonesia.
Mari kita ubah ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi negeri ini dengan berpijak pada bumi nusantara dan sejarahnya yang panjang penuh heroisme dan nasionalisme, sesuai semangat Proklamasi dan UUD 1945.