REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keenganan dua terpidana mati kasus Narkoba yang merupakan anggota kelompok Bali Nine menandatangani surat pernyataan kesanggupan menjalani eksekusi mati menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap integritas proses hukum Indonesia.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Aziz Azhar mengatakan sejumlah tindakan yang ditunjukkan penegak hukum Indonesia dinilai memicu kondisi tersebut.
"Bagaimana mereka akan meyakini kalau proses hukumnya tidak berintegritas ? Ini terkait nyawa manusia, bukan hanya sekedar proses hukum," katanya kepada Republika, Selasa (28/4)
Menurutnya, duo Bali Nine dan tersangka kasus narkoba lain mengalami beberapa hal yang kurang baik selama proses hukum. Ia mencontohkan, ketiadaan penerjemah bagi tersangka dan salah menyebut asal negara sebagai contoh sederhananya.
"Dari hal-hal kecil semacam itu, bisa dilihat seperti apa komitmen proses peradilan hukum di Indonesia. Bisa dibilang kurang bersungguh-sungguh. Wajar jika tersangka dan masyarakat internasional meragukan proses hukumnya," jelasnya.
Seperti diketahui, duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran telah mengetahui tanggal eksekusi mati bagi keduanya. Namun, hingga kini keduanya masih enggan menandatangani surat pernyataan kesanggupan menjalani eksekusi mati.
Berbagai tekanan secara diplomatik maupun kedekatan kerjasama bilateral telah dilakukan untuk mengantisipasi eksekusi mati hukuman mati. Pihak Australia dan kuasa hukum keduanya pun masih menempuh berbagai cara untuk membatalkan hukuman mati ini.