REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyesalkan sikap Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon yang mengintervensi hukuman mati tahap dua di Indonesia segera dilaksanakan.
"Pernyataan sekjen PBB Ban Ki-moon yang mulai mengintervensi hukuman mati akan dilakukan di Indonesia sangat disesalkan. Belum ada Sekjen PBB berbicara hukum positif di negara masing-masing," kata Hasanuddin, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/4).
Dia menjelaskan, pertama, hukuman mati adalah hukuman positif di Indonesia, sehingga Sekjen PBB tidak perlu ikut campur, karena itu bukan masalah konflik antarnegara tapi hukum yang berlaku di negara-negara itu sendiri. Ia mencontohkan, hukuman mati masih diberlakukan di Malaysia, Benua Afrika, Timur Tengah, bahkan di Amerika masih ada yang menerapkan kebijakan tersebut.
"Bahkan di Amerika masih ada hukuman mati, namun Sekjen PBB tidak pernah mencampuri itu," ujarnya lagi.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, bukan tugas Sekjen PBB untuk mengintervensi hukuman mati sebuah negara, termasuk hukuman mati di Indonesia. TB Hasanuddin menduga, PBB dalam hal ini Sekjen PBB mendapat tekanan dari Australia, Prancis, dan Brazil.
Kedua, menurut dia, langkah Ban Ki-moon dapat menurunkan kredibiltas PBB karena sebelumnya tidak pernah mengurus terkait hukuman mati di sebuah negara. "Bahkan, langkah ini bisa menurunkan kredibilitas Ban Ki-moon sendiri di mata dunia karena bukan tugas dan wewenangnya," katanya lagi.
Dia menilai, langkah Ban Ki-moon itu menunjukkan PBB sudah terbiasa mendapat tekanan, dan PBB di bawah kepemimpinan Ban Ki-moon lemah. Menurut dia, menyikapi hal tersebut, dirinya berharap Indonesia terus jalan melakukan hukuman mati, karena yang menderita akibat narkoba ini adalah Indonesia bukan negara lain.
Sebelumnya, Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo untuk menghentikan hukuman mati. Desakan dari Ban Ki-moon itu disampaikan oleh juru bicara PBB Stephane Dujarric, dan menurut dia, Ban sudah berbicara dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno LP Marsudi soal itu.
Kejaksaan Agung pada tahap pertama telah mengeksekusi mati enam terpidana pada 18 Januari 2015. Keenam orang tersebut, yakni Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda).
Pada tahap kedua, Kejaksaan Agung Indonesia akan mengeksekusi mati sembilan orang dalam waktu dekat, yaitu Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina), Myuran Sukumaran (WN Australia), Andrew Chan (WN Australia), Martin Anderson (WN Ghana), Raheem Agbaje (WN Nigeria), Zainal Abidin (WN Indonesia), Rodrigo Gularte (WN Brazil), Sylvester Obiekwe Nwolise (WN Nigeria), dan Okwudili Oyatanze (WN Nigeria).