Senin 27 Apr 2015 06:00 WIB

Ribuan Arab Disantap Ikan 'Dicuekin' KTT Asia-Afrika

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Inilah tragedi paling mengerikan di Abad 21 ini. Ribuan warga Arab bereksodus dari negaranya. Mereka menjadi imigran gelap dengan menaiki kapan-kapal butut menuju daratan Eropa. Namun, naas bagi mereka. Sebelum sampai tujuan, kapal mereka karam di Laut Tengah/Mediterania. Ribuan dari mereka pun tewas sebelum sempat diselamatkan.

Peristiwa terbaru terjadi pada Ahad (19/04) pekan lalu, tepat menjelang Konferensi Asia-Afrika.  Sebuah kapal karam di depan pantai Libia. Menurut Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR), 800 orang tewas dalam peristiwa itu. Angka ini diperoleh UNHCR dari kesaksian 27 penumpang selamat.  Hingga kini hanya 24 jenazah berhasil ditemukan dan telah dimakamkan di Malta.

Sepekan sebelumnya sebuah kapal juga karam di Laut Mediterania,  menewaskan 400 imigran. Selasa lalu UNHCR mengungkapkan, selama empat bulan sejak Januari 2015 imigran yang tewas sudah mencapai angka 1750 orang.  Sedangkan pada 2014, jumlah imigran yang tewas di perairan Mediterania mencapai  3279 orang. Sejak tahun 2000, sudah lebih dari 20 ribu imigran  yang tewas di Laut Tengah. Jenazah mereka banyak yang tidak ditemukan dan mungkin sudah disantap ikan-ikan buas di lautan luas antara Afrika dan Eropa itu.

UNHCR memperkirakan bila kondisi negara-negara di Timur Tengah tetap seperti sekarang maka jumlah imigran yang tewas ditelan Laut Tengah akan bisa mencapai 30 ribu orang. Apalagi bila masalah imigran gelap ini belum ada penanganan yang lebih baik.

Mereka yang tewas ini adalah di antara ratusan ribu imigran gelap yang ingin mencari kehidupan lebih baik di negeri orang. Pada tahun lalu, sebanyak lebih dari 125 ribu imigran telah berhasil mendarat di Eropa. Lebih dari 100 ribu di antaranya mendarat di pulau-pulau di Italia yang berhadapan dengan Laut Mediterania, seperti Sisilia dan Pulau Lampedusa.

Selain Italia, para imigran gelap ini memasuki daratan Eropa melalui pintu Yunani.Namun, Italia dan Yunani hanyalah tempat transit dan bukan negara tujuan. Tujuan utama mereka mendapatkan suaka politik di negara-negara Eropa yang lebih makmur seperti Denmark, Swedia, Swiss, Norwegia, Jerman, dan lainnya.

Bagi para imigran gelap dari negara-negara Arab, tenggelam di laut tampaknya hanya akhir dari penderitaan panjang. Mereka adalah rakyat kebanyakan. Mereka tidak peduli dengan politik, kekuasaan, dan lainnya. Sebaliknya, mereka justeru korban dari ketamakan mereka yang haus kekuasaan. Seperti rakyat kebanyakan, yang mereka butuhkan hanyalah keamanan dan kenyamanan hidup.

Sayangnya, keamanan dan kenyamanan ini di banyak negara telah sirna. Lihatlah apa yang terjadi di Suriah, Irak, Palestina, Yaman, Mesir, Libia, Sudan, dan beberapa negara di Afrika lainnya. Perebutan kekuasaan dan konflik politik telah membuat ribuan dan bahkan jutaan warga menderita. Di Suriah saja kini lebih dari 4 juta warga mengungsi. 

Ketika keamanan dan kenyamanan di negara sendiri telah sirna, maka mencari kehidupan yang lebih baik di negari orang bukan hal tabu. Termasuk menjadi imigran gelap sekali pun. Kondisi inilah yang tampaknya dimanfaatkan para kaki tangan mafia internasional penyelundup imigran gelap. Mereka mencari mangsa di negara-negara miskin dan rawan konflik. Mereka menawarkan jasa berimigrasike daratan Eropa. Tentu dengan imbalan dolar yang tidak sedikit.

Bagi para imigran gelap, dari sinilah sebenarnya penderitaan panjang justeru baru dimulai. Setelah bertransaksi dengan mafia,  para imigran lalu menempuh pejalanan darat yang berat dengan melintasi batas-batas negara menuju Libia.Tidak beda apakah mereka dari Suriah, Irak, Palestina, Mesir, Sudan, Eritrea atau dari negara Afrika lainnya. 

Ya, Libia. Inilah negara yang bisa ‘dimainkan’ oleh para mafia penyelundup manusia. Selain posisinya berhadapan dengan Laut Mediterania, negara ini sedang kacau sejak rezim Muammar Qadafi dijatuhkan empat tahun lalu. Perebutan kekuasaan dan konflik antar-kelompok, milisi, dan suku terus berlangsung. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan mafia dengan menjadikan pimpinan milisi sebagai kaki-tangan atau pelindung mereka.

Untuk mencapai Libia, para imigran harus menempuh jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Dengan kendaraan seadanya mereka  bisa berhari-hari dalam perjalanan. Dengan status mereka yang ‘gelap’, mereka harus menghindari petugas keamanan perbatasan. Mereka pun menempuh jalan-jalan tikus.

Tak mengherankan bila kemudian di antara mereka ada yang salah jalan dan terjebak dalam pusaran padang pasir. Selama empat bulan ini saja, media al Sharq al Awsat mencatat minimal ada tiga rombongan imigran gelap yang tewas mengenaskan di tengah padang pasir Afrika.

Ketika tiba di Libia, penderitaan para imigran pun belum berakhir. Untuk menyeberang Laut Mediterania, para mafia memaksa mereka berjejalan dalam kapal barang yang tidak layak untuk manusia. Jumlah penumpangnya pun melebihi kapasitas. Di atas kapal, sejumlah imigran pun masih mengalami perlakuan buruk. Bahkan perkosaan terhadap imigaran perempuan juga kerap terjadi.

Yang lebih mengenaskan lagi, ada beberapa nahkoda yang sengaja meninggalkan kapalnya di tengah laut dan membiarkan para imigaran diombang-ambing oleh ombak. Dengan kondisi seperti itu tidak aneh apabila bahaya selalu mengancam para imigran.

Bagi para mafia, nasib imigran bukan hal penting. Yang penting adalah uang. Dalam pembicaraan dua orang mafia yang berhasil direkam aparat keamanan Italia, terbukti mereka dapat keuntungan jutaan dolar dari hasil menyelundupkan imigran ke Eropa. Seorang dari Eritrea dan lainnya dari Ethiopia. Mereka tinggal di Tripoli, ibukota Libia, dengan perlindungan milisi bersenjata setempat.

Yang sangat disayangkan adalah sikap para pemimpin Arab. Hingga kini belum ada pernyataan --  baik dari pemimpin negara asal imigran maupun lainnya -- tentang nasib ribuan rakyat mereka yang tenggelam di laut ini. Setali tiga uang juga dengan Organisasi Kerja-sama Islam (OKI) dan Konferensi Asia Afrika (KAA). Bahkan ketika para pemimpin Asia dan Afrika bersidang pada acara KAA di Jakarta, nasib ribuan imigran gelap yang disantap ikan di Laut Mediterania ini tak masuk dalam bahasan alias dicuekin. Bukankah para imigran itu dari Benua Asia dan Afrika?

Menjadi pertanyaan, kekuasaan yang kini sedang diemban para pemimpin negara itu sebenarnya untuk apa dan siapa? Bukankah kekuasaan seharusnya untuk kepentingan rakyat?

‘Pembiaran’ nasib para imigran gelap oleh para pemimpin di Asia dan Afrika, terutama Arab, tampaknya telah merisaukan para pemimpin negara-negara di Eropa. Dua hari setelah karamnya kapal yang menewaskan 800 orang ini, para pemimpin Uni Eropa pun menggelar pertemuan darurat.

Di antara hasil pertemuan, imigran bukan hanya masalah kemanusiaan. Ia juga mengangkut soal ekonomi dan keamanan. Pertama, ekonominegara-negara Eropa dalam beberapa tahun ini mengalami stagnasi, sehingga keberadaan imigran baru dianggap akan memberatkan perekonomian mereka. Kedua, kekhawatiran adanya teroris yang sengaja ‘ditanam’ di tengah para imigran oleh kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah. Kekhawatiran tentang terorisme ini terlihat dari naiknya pamor partai-partai anti-imigran di sejumlah negara di Eropa.

Intinya, membanjirnya imigran gelap Arab ke daratan Eropa harus dicegah. Namun, selama sejumlah negara Arab terus berkonflik maka imigran dari Arab dan beberapa negara Afrika akan sulit dibendung.Rakyat yang akan terus menjadi korban. Terutama para imigran yang mengalami nasib buruk di negaranya namun lebih buruk di negara orang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement