REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan masyarakat akan listrik semakin tinggi. Untuk itu, pemerintah berniat menambah kapasitas listrik nasional sebesar 35 ribu MW. Di dalam road map penambahan ketersediaan listrik ini pemerintah menyelipkan memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk panas bumi atau geothermal.
Namun, kondisi di lapangan, pengembangan panas bumi masih terkendala banyak hal, termasuk proyek yang memakan waktu lama. Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Ridha Mulyana mengatakan, dalam satu proyek pengembangan lapangan panas bumi, butuh secepatnya 7 tahun untuk bisa menghasilkan listrik. Belum lagi, masalah lahan yang kerap kali bersinggungan dengan instansi lain seperti kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ridha menyebut, salah satu cara untuk mempercepatnya adalah dengan membebaskan biaya masuk segala sesuatu yang berkaitan dengan panas bumi. Dia mengaku masih banyak tools atau peralatan berkaitan dengan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang mau tidak mau harus impor. Seperti misalnya turbin pembangkit ataupun alat pemboran. Untuk itu, pemerintah membebaskan semua bea masuk termasuk pajak bagi operator yang ingin mengimpor peralatan tersebut.
"Semua yang berkaitan dengan energi terbarukan bebas biaya masuk," kata Dirjen EBTKE Rida Mulyana dalam sebuah diskusi di Cikini, Ahad (26/4)
Menurut Rida, upaya prioritas lainnya, pemerintah bakal memberikan subsidi dan insentif kepada energi baru dan terbarukan. Beberapa langkah juga sudah dicoba untuk mensukseskan target ini.
Wujud insentif maupun subsidi dalam energu baru dan terbarukan ini adalah dibantu pembuatan infrastrukturnya. "Subsidi nanti bantuan infrastruktur," ujarnya.