REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M. Soemarno mengusulkan adanya penyediaan pupuk nonsubsidi khusus untuk komoditas tanaman tebu, agar petani tebu mendapatkan jaminan ketersediaan di lapangan.
"Hal itu, sebagai salah satu upaya menyelesaikan permasalahan petani tebu yang selama ini berharap mendapatkan pupuk bersubsidi, namun aturannya hanya untuk petani dengan lahan garapan maksimal 2 hektare," ujarnya ditemui usai melakukan kunjungan kerja di Pabrik Gula Rendeng Kudus, Jateng, Sabtu (25/4). Padahal, lanjut dia, selama ini petani tebu yang menyewa lahan maupun kepemilikan lahannya lebih dari 2 hektare.
Untuk itu, dia mengusulkan, adanya pupuk untuk petani tebu yang dibedakan dengan warna pupuknya dan tidak disubsidi. Apalagi, kata dia, harga gula petani nantinya juga ditentukan berdasarkan harga patokan yang memperhitungkan harga pupuk itu sendiri.
"Ketika harga pupuknya tidak bersubsidi, tentunya akan terefleksi pula dengan harga jual gula petani," ujarnya.
Usulan tersebut, kata dia, harus bicarakan di tingkat pemerintah. "Petani tebu sendiri menyadari bahwa subsidi pupuk tersebut juga dinikmati konsumen karena harga itu merupakan bagian dari kalkulasi harga patokan gula," tuturnya.
Meskipun tidak disubsidi, kata dia, hal terpenting nantinya pupuk selalu tersedia di pasaran karena nantinya harganya juga dikalkulasi dengan HPP gula.
Selain mendapatkan jaminan ketersediaan pupuk, kata dia, petani tebu juga akan mendapatkan pupuk yang berkualitas.
Nantinya, kata dia, hal demikian juga akan dibicarakan pula dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dan Kementerian Pertanian. Komoditas tanaman tebu, lanjut dia, dimungkin pula mendapatkan pasokan pupuk dari distributor langsung dan barangnya juga mendapat jaminan selalu tersedia.
Ketua DPC APTRI PG Mojo Paryanto mengakui, banyak petani yang mengeluhkan sulit mendapatkan pupuk bersubsidi karena lahan yang digarap lebih dari 2 hekare. Padahal, dengan lahan garapan hanya 2 hektare penghasilan petani justru tidak besar.
"Kami juga menyadari bahwa pupuk subsidi yang menikmati ternyata konsumen, karena harga patokan petani (HPP) gula dasar penghitungannya juga dari pupuk bersubsidi," ujarnya. Hal demikian, lanjut dia, tidak adil karena ketika terjadi masalah sedikit yang menanggung justru petani.