Ahad 26 Apr 2015 06:00 WIB

Antara KAA dan Palestina

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Enam puluh tahun lalu, tepatnya 18-24 April 1955, tidak ada kekuatan besar dunia yang mengira bahwa sebuah negara muda yang baru 10 tahun merdeka mampu mengumpulkan puluhan negara baru dari Asia dan Afrika dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan di Bandung.

Tercatat sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia mengirimkan wakil untuk mengikuti konferensi yang bertempat di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia.

Sejarawan Agung Pribadi melihat, Konferensi Asia Afrika (KAA) berhasil memberi perubahan besar pada peta dunia. Setidaknya, ada sekitar 40 negara yang baru merdeka terpicu langsung oleh diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika 1955. Sebagai gambaran, usai Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri, beranggotakan 51 negara, yang merupakan jumlah sebagian besar negara di dunia saat itu.

Dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1960), sebanyak 36 negara telah bergabung sehingga anggota PBB mencapai 87 negara. Beberapa negara baru pun muncul setelah Perang Dunia II. Mereka adalah negara merdeka yang keanggotaannya menyusul karena tidak langsung bergabung di PBB ketika didirikan.

Akan tetapi, dalam kurun waktu 10 tahun selama 1960-1970, sebanyak 40 negara baru bergabung dalam PBB dan sebagian besar berasal dari benua Asia dan Afrika. Sebut saja Tunisia, Ghana, Guyana, Mauritania, Mali, Togo, Dahomay, Republik Afrika Tengah, Gabon, Chad, Kongo, Senegal, Pantai Gading, Volta Hulu (Burkina Faso), Nigeria, Somalia, Sierra Leone, Burundi, Rwanda, Tanzania, Kenya, Zambia, dan Malawi adalah nama-nama negara yang merdeka setelah Konferensi Asia Afrika.

Sebelum KAA, di Afrika hanya terdapat lima negara, yaitu Mesir, Libya, Etiopia, Liberia, dan Afrika Selatan. Setelah KAA sampai 1965, sebanyak 33 negara di Benua Afrika berhasil meraih kemerdekaannya.

Tidak berlebihan jika KAA dikatakan telah mengubah peta dunia, dan Indonesia mempunyai peran besar di dalamnya. Bahkan, kemerdekaan puluhan negara di Asia dan Afrika setelah tahun 1970-an masih merupakan pengaruh lanjutan semangat KAA.

Begitulah, 60 tahun berlalu, kini negara-negara Asia-Afrika kembali berkumpul. Beberapa di antara yang hadir merupakan perwakilan negara yang dulu memelopori KAA. Beberapa lainnya adalah perwakilan dari negara yang dulu ikut menghadiri KAA. Hal yang membanggakan, banyak delegasi yang berasal dari negara yang merdeka berkat peran KAA pada masa lalu.

Tantangan terbesar dari pertemuan tersebut adalah apakah konferensi ini sekadar upaya nostalgia, merayakan prestasi sejarah pada masa lalu atau benar bisa diharapkan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar?

Setelah 60 tahun, apakah KAA masih mempunyai semangat dan kekuatan yang sama? Salah satu topik kuat yang diusung Presiden Jokowi dalam KAA kali ini adalah kemerdekaan Palestina.

Di atas kertas, sesungguhnya ide ini jauh lebih sederhana dari apa yang diusung pada 1955. Dulu semangat kemerdekaan diusung sedikit negara yang baru merdeka agar negara terjajah mampu meraih kemerdekaannya di tengah kekuatan imperialisme yang masih kuat.

Afrika, contohnya. Secara matematika, lima negara Afrika, dengan semangat KAA telah menginspirasi 30 lebih negara baru. Atau, satu banding enam. Sementara saat ini, lebih dari 100 negara hadir, puluhan di antaranya langsung diwakili kepala negara. Begitu banyak bangsa yang bisa bersatu mendukung kemerdekaan satu negara. Apalagi, parlemen di sebagian negara Eropa juga mulai mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah bangsa. Ditambah lagi era keterbukaan dan penghargaan hak asasi manusia yang begitu kuat dipropagandakan negara maju.

Jika KAA dahulu bisa memberikan inspirasi dan dukungan pada puluhan negara untuk merdeka, bukankah agenda memperjuangkan satu negara Palestina agar terbebas dari penjajahan serta dominasi negara lain, harusnya jauh lebih mudah?

Benar, dunia politik tidak sesederhana hitungan di atas kertas. Butuh kesungguhan dan kekompakan untuk mencapainya. Pada akhirnya, sejarah juga yang akan mencatat pada masa depan, apakah KAA tetap mampu mengibarkan semangat yang sama atau murni pertemuan nostalgia. Kemerdekaan Palestina, sederhananya, akan menjadi bukti.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement