Jumat 24 Apr 2015 10:45 WIB
Konferensi Asia Afrika 2015

Manfaatkan KAA 2015, Indonesia Seharusnya Jadi Pelopor Fair Trade

Rep: Sonia Fitri/ Red: Satya Festiani
Para pemimpin Asia dan Afrika berpose untuk foto grup selama KTT Asia Afrika di Jakarta, Indonesia, Rabu 22 April 2015. (AP Photo / Dita Alangkara)
Para pemimpin Asia dan Afrika berpose untuk foto grup selama KTT Asia Afrika di Jakarta, Indonesia, Rabu 22 April 2015. (AP Photo / Dita Alangkara)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015 seharusnya dimanfaatkan betul oleh Indonesia untuk memposisikan diri sebagai pelopor kemajuan negara Asia-Afrika. Makanya, pemerintah diminta agar bisa berperan lebih besar dan lebih konkrit dalam mendorong kemajuan ekonomi negara-negara Asia-Afrika. Di antara peran strategis yang dapat dijalankan oleh Indonesia di antaranya mendorong kerjasama perdagangan yang lebih berkeadilan atau fair trade.

"Praktik-praktik perdagangan yang tidak adil masih banyak dan sering dilakukan oleh negara-negara maju yang banyak merugikan negara-negara berkembang," kata Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dalam rilis yang diterima pada Kamis (23/4).

Sebagai contoh, lanjut dia, pada saat negara-negara berkembang didesak untuk mengurangi hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif, WTO malah membiarkan negara-negara maju menjalan kebijakan proteksionis hingga saat ini.

Berdasar pengamatannya, subsidi pertanian di negara-negara maju telah membuat para petani di negara negara berkembang terutama di kawasan Afrika kesulitan untuk bersaing di pasar global dan juga di pasar domestik negara mereka sendiri.

Negosiasi dengan Uni Eropa pun membuat negara-negara di Afrika dipaksa untuk menghapuskan tarif pada hingga 90 persen dari perdagangan mereka karena tidak ada aturan yang jelas ada untuk melindungi mereka.

Ia pun menguraikan beberapa permasalahan penting yang sangat krusial untuk dibahas dalam konferensi. Antara lain lemahnya daya tawar negara-negara berkembang, terlebih lagi negara-negara miskin dalam negosiasi perdagangan internasional. Selain itu, terjadi kerumitan prosedur dan mahalnya biaya hukum penyelesaian sengketa perdagangan yang sangat menyulitkan negara-negara miskin untuk membuat pengaduan, perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang yang belum belum diatur secara tuntas oleh WTO.

"Posisi negara berkembang dan terbelakang yang masih banyak terdapat di benua Asia dan Afrika semakin terdesak karena tidak banyak forum-forum internasional yang mengonsolidasikan suara mereka," ujarnya. Di sisi lain, forum-forum internasional dari negara-negara maju yang sering kali mempengaruhi kehidupan negara-negara berkembang dan terbelakang semakin intens dilakukan.

Demikian pula, kata dia, dalam hal pengentasan kemiskinan yang sampai saat ini masih menjadi masalah besar yang dihadapi negara-negara Asia, terlebih lagi Afrika. Pengalaman panjang Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan dan mampu menekan jumlah orang miskin dari 54 juta orang pada 1976 menjadi 11 juta pada 2014 juga dapat dibagi dengan negara-negara Afrika yang hingga saat ini masih banyak yang tingkat kemiskinannya di atas 50 persen dari total penduduk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement