REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Sejumlah nelayan di pantura Indramayu hingga kini masih ada yang menggunakan jaring arad saat melaut. Kondisi itupun membuat para nelayan kerap terlibat konflik di laut.
"Nelayan di Indramayu masih ada yang menggunakan jaring arad, tapi hanya sedikit," kata Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, kepada Republika, Kamis (23/4).
Kajidin menyebutkan, nelayan yang masih menggunakan jaring arad tersebut di antaranya di Desa Singaraja, Kecamatan Indramayu dan Desa Eretan, Kecamatan Kandanghaur. Para nelayan itu merupakan nelayan kecil yang mencari ikan di pinggir laut.
Kajidin mengatakan, sebagian besar para nelayan di Kabupaten Indramayu sebenarnya sangat menolak penggunaan jaring arad atau yang dikenal juga dengan istilah pukat harimau. Selain merusak ekosistem laut, jaring tersebut juga merusak alat tangkap milik nelayan lain yang ada di sekitarnya. "Penolakan terhadap jaring arad itu adalah harga mati," kata Kajidin.
Kajidin pun menyayangkan tidak adanya tindakan tegas dari aparat dan instansi yang terkait terhadap nelayan yang masih menggunakan jaring arad. Padahal, dia mengaku sering mengadukan hal tersebut. "Saya sudah 'teriak-teriak' menolak jaring arad sejak 1986, sudah melapor kesana-kemari, tapi tak ada tanggapan," keluh Kajidin.
Kajidin menyatakan, tidak adanya tindakan tegas dari instansi dan aparat terkait akhirnya membuat nelayan non-arad mengambil tindakan sendiri. Kondisi itupun akhirnya menyebabkan konflik berkepanjangan antara nelayan non-arad dan nelayan arad.
Kajidin menyebutkan, konflik antara kedua kelompok nelayan tersebut marak terjadi selama rentang waktu 1990-an dan mencapai puncaknya pada 2000 di berbagai daerah. Di Kabupaten Indramayu, nelayan non-arad merampas dan membakar jaring arad yang mereka temui di laut.
Mendapat perlakuan seperti itu, lanjut Kajidin, nelayan arad pun melakukan perlawanan. Akhirnya, terjadi perang di laut antara nelayan arad dan non-arad. Hal itu di antaranya pernah terjadi di Desa Brondong dan Desa Singaraja, Kecamatan Indramayu dan Desa Eretan, Kecamatan Kandanghaur.
Bahkan, adapula nelayan non-arad asal Gebang, Kabupaten Cirebon, yang dikeroyok di laut hingga tewas oleh nelayan arad di perairan Teluk Jakarta. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pembalasan dendam nelayan arad karena nelayan-nelayan non-arad yang kerap merampas dan membakar jaring arad.
"Ya seperti itulah kalau tidak ada tindakan tegas dari pihak terkait. Akhirnya rakyat yang ribut dengan sesama rakyat," tutur Kajidin.
Kajidin menuturkan, saat ini konflik antara kelompok nelayan non-arad dan kelompok nelayan arad memang sudah menurun drastis.
Selain karena penggunaan jaring arad sudah berkurang, hal itupun dilatarbelakangi rasa lelah di kalangan nelayan terhadap konflik berkepanjangan.
"Capek, perang terus. Paling kalaupun ada konflik, sifatnya hanya perseorangan. Nelayan non-arad yg alat tangkapnya rusak oleh jaring arad, akan langsung protes pada pemilik jaring arad," tutur Kajidin.
Terpisah, Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jabar, Ono Surono, saat dimintai tanggapannya, menyatakan, selama ini, pemerintah tidak pernah fokus untuk mengatasi masalah alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Menurutnya, nelayan yang kecil dan miskin pasti berorientasi untuk menangkap ikan dengan biaya murah dan dapat hasil yang banyak. "Mereka belum berpikir tentang kelestarian sumber daya alam," tandas pria yang juga menjabat sebagai anggota Komisi IV DPR RI dapil Indramayu - Cirebon itu.