Rabu 22 Apr 2015 09:55 WIB

Dunia Dinilai tak Bersikap Jelas Soal Yaman

Suasana kota tua Sanaa, Yaman, setelah berkecamuk perang.
Foto: Reuters
Suasana kota tua Sanaa, Yaman, setelah berkecamuk perang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat masalah Timur Tengah dan dunia Islam Hasibullah Satrawi menilai kekuatan politik regional maupun global tidak memberikan sikap yang jelas dan tegas untuk memaksa konflik di Yaman segera berakhir.

"Dewan Keamanan PBB justru menegaskan bahwa kelompok Houthi harus segera meninggalkan posisi dan instansi yang dikuasai. Itu sikap yang tidak akan menyelesaikan masalah," kata Hasibullah Satrawi yang dihubungi di Jakarta, Rabu (22/4).

Hasib mengatakan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Dewan Keamanan PBB memihak salah satu pihak, yaitu kelompok koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Pernyataan serupa juga sudah dikatakan Arab Saudi sebelum memulai invasi militer ke Yaman. "Pernyataan seperti itu tentu menimbulkan resistensi oleh kelompok-kelompok yang diakui atau didukung Houthi," ujarnya.

Ketidakjelasan kekuatan politik global dalam menyikapi konflik di Yaman, kata Hasib, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan serangan-serangan di Yaman, termasuk yang merusakkan Kedutaan Besar Indonesia di Sana'a, menjadi semakin liar dan tidak terkendali.

Selain faktor eksternal dari kekuatan politik global, Hasib mengatakan faktor internal di Yaman, yaitu konflik sektarian, juga turut mendorong perang yang berkelanjutan dan semakin tidak terkendali. "Setahu saya isu sektarian di Timur Tengah itu sangat sensitif, jauh lebih sensitif daripada isu agama," tuturnya.

Menurut Hasib, Indonesia merupakan kiblat demokrasi di dunia Islam. Karena itu, Indonesia harus segera mengambil sikap dan langkah yang cepat dan akurat.

Salah satu langkah cepat yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI) baik pelajar, profesional maupun diplomat.

Namun, adanya korban WNI dalam serangan yang berimbas pada gedung Kedubes Indonesia di Sanaa menunjukkan kekurangakurasian langkah yang diambil Kementerian Luar Negeri.

"Ternyata masih ada staf diplomat di sana. Apakah diplomasi masih memungkinkan pada situasi perang? Jangan-jangan langkah yang diambil pemerintah kurang akurat," katanya. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement