REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Kedisiplinan para penumpang commuter line (CL) agar tak merokok di area peron stasiun harus terus digulirkan untuk menghapus kebiasaan lama.
"Diperlukan pembangunan sistem dan ini memakan waktu lama. Sedangkan larangan kawasan tanpa rokok (KTR) di Jakarta baru diratifikasi," kata psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta, dalam rilisnya, Rabu (22/4).
Ia mengakui, tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat pengguna CL untuk tidak merokok di peron. Lantaran mereka bertahun-tahun lamanya udah terbiasa melakukan hal itu.
Ketika ada larangan tadi, belum seluruh pengguna CL bisa memahaminya. Sehingga terjadilah sejumlah insiden percekcokan antara petugas yang puncaknya berakhir dengan pemukulan oleh pengguna CL.
Shinta mengapresiai sikap satpam stasiun yang menegur penumpang. Namun, sayangnya hal itu justru direspon dengan agresif oleh penumpang sehingga menyebabkan satpam terluka dan dirawat intensif.
"Tahap yang terjadi di masyarakat kita saat ini baru pada tahapan kalau dihukum baru mereka mengerti. Atau sama seperti pemahaman fase anak-anak," ujarnya.
Sikap agresif yang timbul, kata dia, bisa jadi si penumpang dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Sehingga ketika ditegur justru dia marah dan bertindak agresif.
"Kita juga tidak tahu bagaimana cara satpam itu melakukan teguran sehingga sampai membuat penumpang marah. Namun, teguran itu dilakukan dalam rangka membangun sistem," katanya.
Arogansi yang muncul juga dipicu dari lemahnya penegakan hukum. Tidak adanya efek jera ini yang membuat penumpang merasa masih bisa melanggar.
"Sampai sekarang tidak ada kan yang dihukum sampai kena Rp 50 juta. Jadi memang tidak ada efek jera yang membuat masyarakat takut," katanya.