REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang digelar pada awal Desember ini, dikhawatirkan praktik politik uang (money politics) masih marak terjadi di daerah-daerah. Terkait itu, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menyatakan, salah satu tahap awal dari money politics ialah penukaran uang secara besar-besaran ke bank di daerah-daerah.
“Jadi kalau orang di daerah yang bukan pengusaha dan pegawai, kan (pihak) bank tahu dari gesturenya, terus menukar uang, itu harus di-profiling. Itu harusnya nggak usah dilayani,” ucap Agus Santoso, Selasa (21/4).
Agus menjelaskan, menjelang penyelenggaraan Pilkada, selalu ada orang yang merupakan koordinator kampanye pasangan calon kepala daerah, yang datang ke bank. Dia membawa uang pecahan besar dalam jumlah yang banyak untuk kemudian ditukarkan ke dalam pecahan-pecahan kecil. Hal inilah yang mestinya diawasi bank.
Karena itu bank sebagai ujung tombak mengetahui, siapa nasabahnya yang memang pengusaha tulen, penabung tulen, dan yang koruptor itu. “Money politics kan pakai uang baru. Sebisa mungkin uang yang segar (baru naik cetak). Bukan uang kucel. Dan paling tinggi, pecahannya Rp 50 ribu. Ke koordinatornya bisa aja jutaan, tapi ke rakyat kan pecahan kecil,” jelas dia kemudian.
Bagaimanapun, kata Agus, pihaknya tidak bisa memastikan, daerah-daerah mana yang belakangan ini mulai teridentifikasi marak praktik demikian. Pasalnya, itu di luar jangkauan PPATK.