Selasa 21 Apr 2015 15:43 WIB

KPBB: Pertalite Hanya Akal-akalan Pemerintah

Rep: c84 / Red: Ani Nursalikah
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menghapuskan Premium di kota-kota besar dan menggantinya dengan Pertalite mendapat kritikan tajam dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Program Director KPBB Karya Ersada menyebut hal ini hanya akal-akalan pemerintah saja.

"Dengan Pertalite, mafia migas akan berjaya. Ron 88 ke 90 tanggung, padahal jika menggunakan Ron 91 kita sudah masuk ke Standar Euro 2. Jangan Pertamina oplos terus, Ron 88 nggak ada di pasar dunia," ujarnya kepada awak media di Kantor KPPB, Gedung Sarinah, Jakarta, Selasa (21/4).

Karya berharap pemerintah tidak lagi mengelabui masyarakat dengan memasok BBM yang tidak memenuhi persyaratan teknologi kendaraan yang mereka miliki saat ini.

Seharusnya, penetapan harga BBM harus dilakukan melalui metode Harga Pokok Penjualan yang berdasarkan struktur biaya BBM di Indonesia, yaitu biaya pembelian minyak mentah (83,4 persen) ditambah biaya pengolahan (enam persen) ditambah biaya angkutan laut (tiga persen) ditambah biaya lainnya 1,8 persen.

Ia menambahkan, apabila biaya pembelian minyak mentah berasal dari kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia seharusnya dihitung berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 sehingga hanya biaya lifting dan pajak saja yang diperhitungkan.

Hal senada diungkapkan Executive Director KPBB Ahmad Safrudin yang mengatakan kemunculan Pertalite dianggap bukti ketidakkonsistenan pemerintah yang ia nilai tidak sejalan dengan UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, PP No.41/1999 tentang pengendalian pencemaran udara, Kepmen KLH No.141/2003 tentang standar emisi kendaraan tipe baru dan current production dimana telah ditetapkan untuk mengadopsi Vehicle Emission Standard (Euro 2) per 1 Januari 2007.

"Syarat penerapan standar ini yaitu BBM dengan kadar Ron minimal 91 untuk bensin, sedangkan untuk solar minimal 51 bukan 48 dengan kadar belerang maksimal 500 bpm," ujarnya.

Safrudin menambahkan, keberadaan Pertalite juga akan bertentangan dengan Program Blue Sky dan terget penurunan emisi rumah kaca sebesar 41 persen pada 2020 yang dicanangkan Presiden RI sebelumnya di Copenhagen, Denmark pada 2009.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement