Selasa 21 Apr 2015 07:57 WIB

Gubernur Kalsel: Pemerintah Pusat tak Adil

Peta Kalimantan Selatan (ist)
Peta Kalimantan Selatan (ist)

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin mengaku lebih memilih wilayah yang dia pimpin tidak memiliki tambang batu bara dari pada harus menanggung risiko kerusakan alam yang luar biasa seperti saat ini.

"Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih Kalsel tidak memiliki tambang, tetapi tetap mendapatkan bagi hasil dari pusat, dari pada harus menanggung risiko kerusakan alam yang luar biasa seperti saat ini," kata Rudy saat menerima tim kunjungan kerja Badan Legislasi Nasional DPR RI, Senin (20/4).

Pernyataan Gubernur tersebut, sebagai salah satu bentuk protes terhadap pemerintah pusat, yang memperlakukan bagi hasil dana perimbangan antara daerah penghasil tambang dan yang tidak memiliki tambang, dilakukan dengan formula yang sama.

Menurut Gubernur, seharusnya sebelum diperhitungkan menjadi dana bagi hasil bagi seluruh provinsi di Indonesia, pemerintah pusat mengeluarkan dulu dana untuk perbaikan lingkungan akibat pertambangan tersebut dan mengembalikan ke daerah penghasil.

Sisanya, tambah Gubernur, baru bisa dibagi secara proposional untuk seluruh wilayah NKRI, sebagaimana yang ditetapkan saat ini.

"Kalau sekarang, formula bagi hasil dana perimbangan sama saja, baik bagi daerah penghasil maupun bukan penghasil, sehingga bila disuruh memilih, lebih baik tidak memiliki tambang, tetapi mendapatkan hasil yang sama dengan daerah yang tidak memiliki tambang," katanya.

Gubernur mengungkapkan, pusat tidak adil karena membiarkan daerah dapat royalti kecil namun tidak memikirkan dampak kerusakan lingkungan yang dirasakan daerah. Menurut Rudy, Kalsel merupakan penghasil batu bara terbesar kedua di Indonesia setelah Kaltim. Setidaknya ada dua perusahaan besar pemegang izin PKP2B di Kalsel yakni PT Adaro dan PT Arutmin.

Mengenai royalti, Rudy menjelaskan selama ini Kalsel hanya mendapat 3 persen dari total Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti sebesar 13,5 persen. Dari 3 persen tersebu, itu pun masih harus dibagi dengan pemerintah kabupaten dan kota penghasil serta lainnya.

"Sehingga kalau boleh dikatakan dengan 3 persen itu dirasakan sangat sangat belum adil," ujarnya.

Ketidakadilan juga dirasakan dari sisi dampak lingkungan. Dengan penerimaan royalti yang sangat kecil, Kalsel justru menerima dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement