Senin 20 Apr 2015 19:00 WIB

Jokowi tak Perlu Persetujuan DPR dan Koalisi untuk Reshuffle Kabinet

Rep: c23/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Jokowi membagikan Kartu Indonesia Sehat.
Foto: Setkab
Presiden Jokowi membagikan Kartu Indonesia Sehat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Hukum dan Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan Undang-Undang nomer 39 tahun 2008 telah mengatur soal kewenangan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya.

Wewenang itu, lanjutnya, juga tidak perlu persetujuan DPR ataupun partai politik yang mengusungnya menjadi presiden. Hal ini Asep menyusul akan adanya wacana reshuffle Kabinet Kerja Joko Widodo. Ada empat nama mengemuka yang disebut akan menggantikan menteri lama yang dianggap tidak bisa bekerja dan tidak loyal kepada presiden.

"Secara hukum, Jokowi memang tidak perlu meminta persetujuan DPR ataupun partai-partai pengusung dan koalisi untuk memberhentikan atau mengangkat menteri. Tetapi secara etika politik, reshuffle memang perlu dikoordinasikan dengan partai koalisi atau parlemen," jelas Asep pada Republika, Senin (20/4).

Asep menambahkan koordinasi perlu dilakukan agar program kerja Jokowi tidak tersandung di parlemen. "Karena partai pengusung dan koalisi bisa saja mengagalkan program Jokowi di parlemen jika mereka tidak dilibatkan dalam rencana reshuffle," ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua DPP Hanura, Dadang Rusdiana menilai, selama satu semester kepemimpinannya, sudah waktunya Jokowi memertimbangkan untuk merombak kabinetnya. "Setelah 6 bulan ini, nampaknya Jokowi harus segera berpikir tentang reshufle kabinet," kata dia pada Republika, Ahad (19/4).

Menurutnya ada empat kementerian yang menterinya perlu diganti, yakni Menteri ESDM, Menkumham, Menteri Perdagangan, dan Menteri Bappenas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement