Ahad 19 Apr 2015 20:58 WIB
Konferensi Asia Afrika 2015

Menlu Irak: 62 Negara Terlibat ISIS

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Indira Rezkisari
Anggota ISIS ketika melakukan parade di Raqqa, Suriah.
Foto: AP Photo
Anggota ISIS ketika melakukan parade di Raqqa, Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 62 negara terlibat dalam kelompok radikal ISIS. Menteri Luar Negeri Irak, Ibrahim Al Jaafari menjelaskan, negara-negara itu merupakan asal dari para militan ISIS.

Namun, ia menegaskan bila keterlibatan tersebut mewakili individu bukanlah negaranya. Oleh sebab itu, Ibrahim ingin agar Indonesia dapat berperan dalam penanganan tindak terorisme ini. Mengingat tindakan ISIS yang telah di luar kemanusiaan.

"Fenomena terorisme ini bukanlah reaksi dari sebuah sikap sektarian dari kelompok berseberangan tapi anti kemanusiaan," katanya kepada wartawan saat ditemui di Jakarta Convention Center, Ahad (19/4).

Sebab, lanjut dia ini bukanlah konflik sunni ataupun syiah karena semua dirugikan ISIS. Negara lain juga terkena dampak seperti Yazidi. Bahkan, putra dari para penganut Yazidi itu dibunuh, dibakar dan lain sebagainya.

Seperti diketahui dari berbagai media, kata dia dengan keji, kelompok radikal tersebut memenggal kepala manusia dan menganiaya siapapun. "Ketika kita menyaksikan adanya penganiayaan terhdap anak kecil, kita semua menyaksikan kekejaman itu," ujarnya.

Menurutnya, hal pertama yang perlu kita hadapi yaitu budaya. Latar belakang pemikiran ISIS adalah dari pemikiran mereka sendiri. Seperti diketahui, ISIS menghalalkan darah mereka yang berbeda pendapat dalam hal keyakinan. Untuk itu, Ibrahim meminta agar kita semua dapat menyebarkan Islam yang damai.

"Kami semua berusaha menciptakan sebuah kerjasama di bidang penanggulangan terorisme, menghadapi tantangan besar ini," ungkap dia. Untuk itu, Ibrahim berharap agar Indonesia dapat bergabung ke dalam koalisi anti terorisme yang sudah dibentuk seperti Cina, Iran dan negara lainnya.

Ia juga menegaskan bila Irak masih banyak membutuhkan bantuan terutama untuk keamanan militer yakni dalam hal senjata khususnya udara, Irak juga membutuhkan informasi intelijen dan bantuan kemanusiaan. Bantuan kamanusiaan dinilai sangat penting karena saat ini Irak masih memiliki dua juta pengungsi akibat konflik ISIS.

"Terutama, bila ISIS merusak wilayah kita, di sana kami butuh bantuan kemanusiaan," tambahnya.

Meski isu teroris sempat dibicarakan dalam pertemuan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60 ini, ia mengaku ada fokus terhadap masalah lain seperti perekonomian, keamanan dan bidang-bidang lainnya.

Sementara itu, Dubes RI untuk Irak, Safzen Noerdin mengatakan bila perekonomian antar kedua negar berfokus kepada energi. "Kita membicarakan kerjasama energi, minyak," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement