REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tingkat urgensi Sungai Citarum dinilai semakin tinggi seiring dengan adanya perubahan iklim di dunia.
Direktur Eksekutif Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP), Rizaldi Boer, menjelaskan, dari sisi perubahan iklim, intensitas curah hujan maksimum itu cenderung makin meningkat akhir-akhir ini. "Sementara musim kemarau juga semakin kering," ujar Rizaldi, Jumat (17/4).
Terlebih, lanjut dia, keberadaan hutan di wilayah-wilayah tangkapan hujan, jika tidak dipulihkan, maka bencana iklim akan makin sering terjadi di masa mendatang.
Selain itu, siklus bencana iklim maksimum yang biasa terjadi sekali dalam 20 tahun, lanjut dia, bisa terjadi nantinya sekali hanya dalam waktu 15 tahun. Ini kemungkinan besar bisa terjadi jika perubahan iklim dan pemanasan global tidak disikapi dengan arif oleh semua kalangan.
"Artinya, wilayah yang tenggelam di cekungan Bandung itu bisa sampai 22 hektar. Beberapa ratus desa. Sekarang ini siklus bencana masih sekali dalam 20 tahun," tambah dia.
Menurut dia, Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu yang bakal terkena dampak perubahan iklim tersebut.
"DAS Citarum ini kondisinya tak sehat, pencemarannya juga luar biasa, tentu dampak yang dihasilkan oleh perubahan iklim ke Citarum akan makin besar. Sehingga biaya-biaya yang kita keluarkan tentu akan makin mahal," ujar dia.
Memang diakui, bahwa seluruh DAS yang akan terkena dampak dari perubahan iklim. Namun, yang paling parah terkena dampaknya, yakni DAS Citarum. "Kondisi DAS Citarum yang paling buruk, itu akan terkena dampak yang makin besar," kata dia.
Apalagi, dari beberapa DAS di Jawa Barat, kondisi yang paling parah itu berada di Sungai Citarum. "Hampir semua DAS di Jabar itu memang tidak bagus, sangat memprihatinkan. Dan DAS Citarum paling kotor di dunia," ujar dia.
Kata Rizaldi, beberapa DAS lain di Jabar, tidak akan terabaikan. Namun, masalahnya, ketergantungan masyarakat terhadap sungai Citarum pun luar biasa besarnya. Misalnya, di situ ada pembangkit listrik yang memanfaatkan aliran sungai Citarum, lalu sumber air irigasi pun berasal dari Sungai Citarum. "Ribuan hektar lahan menggunakan air dari situ," tutur dia.
Selain itu, air minum di Jakarta saja, tutur dia, 80 persennya berasal dari Sungai Citarum. "Gangguan di Citarum itu akan memberikan dampak yang luar biasa. Sementara, kondisi di sana sendiri makin memprihatinkan," tambah dia.