REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wacana yang digulirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan operasi tangkap tangan (OTT) disayangkan. Karena, hal tersebut akan membuat koruptor, terutama dalam kasus suap merasa lebih aman.
"Suap itu kan tersembunyi. Karena pemberi dan penerimanya sembunyi, maka dibutuhkan penyadapan lewat telepon. Setelah informasi dikumpulkan, maka OTT dibutuhkan untuk menanangkap pelaku," kata anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil saat dihubungi Republika, Rabu (15/4).
Nasir mengatakan, OTT itu masih sangat dibutuhkan sebagai shock therapy. Karena, orang yang ditangkap dalam OTT biasanya terkait dengan pejabat negara yang memiliki fungsi strategis pengambilan keputusan.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Zulkarnain berpendapat, saat ini KPK tak perlu lagi melakukan OTT terhadap pelaku dugaan korupsi. Menurutnya, tangkap tangan menguras banyak energi di tengah keterbatasan sumber daya yang ada.
"Saya kira OTT itu sudah lah, jangan lagi ada, sebab sangat menguras tenaga," kata Zulkarnain di gedung KPK, Selasa (14/4).
Dia mengatakan, pekerjaan rumah untuk pimpinan KPK di bawah kepemimpinan Taufiequrrahman Ruki sudah cukup banyak. Sebanyak 36 kasus di tingkat penyidikan menanti untuk diselesaikan. Apalagi, kata Zulkarnain, sisa waktu periode saat ini tinggal enam bulan.
"Dan harus diselesaikan 36 kasus yang masih ada saat ini, agar (pimpinan) KPK Jilid IV tidak terbebani," ujar dia.
Nasir menyayangkan keluhan Zulkarnin tersebut. Menurutnya, tak seharusnya seorang pimpinan KPK mengeluh seperti itu dan mengurangi salah satu kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.
"Ini berarti ada yang salah dengan tata kerja dan tata kelola tugas di KPK. Seharusnya tak ada keluhan seperti itu," katanya.
Menurut Nasir, jika KPK tak sanggup dalam menangani seluruh kasus korupsi, bisa dilimpahkan ke lembaga penegak hukum lain. Yakni, Polri atau Kejaksaan Agung.