REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Muradi mengatakan, ada dua manfaat politis yang didapat Presiden Joko Widodo (Widodo) jika menerima baret TNI.
Pertama, Jokowi secara simbolik mendapat dukungan penuh dari TNI. "Dia dapat garansi dukungan dari TNI. Apalagi, sebagian besar keluarga besar TNI saat pilpres lalu dukung Pak Prabowo. Karenanya, ini momentum penting bagi Presiden Jokowi untuk merekat ke keluarga besar TNI," ucapnya, Rabu (14/4).
Kedua, paparnya, akses Jokowi ke TNI juga terbuka, dan akan lebih mudah ke depannya. Memang, Jokowi adalah Panglima Tertinggi TNI, tapi posisinya itu hanya di administrasi. Karenanya, Jokowi membutuhkan akses langsung ke TNI.
Memang, kata dia, rencana Panglima TNI menyematkan baret TNI ke Kamis (16/4) merupakan hal yang biasa. Pemberian baret TNI terhadap kalangan sipil pun merupakan kewenangan Panglima TNI.
Hanya saja, ia khawatir, ada motif politis di balik pembaretan terhadap Jokowi itu. "Yang tidak boleh adalah ada kepentingan politis pribadi Panglima di balik pemberian baret itu. Misalnya agar Panglima TNI usai pensiun nanti akan dapat posisi di pemerintahan, atau diperpanjang masa jabatannya. Kekhawatiran saya, pemberian baret itu motifnya politis pribadi. Karena, saya melihat Panglima TNI sekarang terkesan ambisius," ujarnya.
Ketua Pusat Studi Politik dan Pemerintahan Unpad itu menilai, bila memang ada motif politis seperti itu, maka pembaretan tidak boleh dilakukan karena jelas melanggar aturan. Karena pembaretan terhadap kalangan sipil memiliki aturan. Artinya, tidak bisa seenaknya seseorang diberi baret sebagai tanda anggota kehormatan.
"Pembaretan itu tidak ada peraturan yang dilanggar. Hanya memang harus melalui pembicaraan serius. Harus ada alasan yang sangat objektif. Misalnya, saya diangkat sebagai anggota kehormatan Kopassus karena saya punya kontribusi signifikan terhadap perkembangan Kopassus," katanya.