Selasa 14 Apr 2015 08:56 WIB

#RIPTVNasional, Bulu Tangkis Pun Butuh Nasionalisme

ilustrasi
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bilal Ramadhan

Saat masih kecil, saya masih ingat dengan euforia kecintaan rakyat Indonesia terhadap olahraga bulu tangkis. Paling tidak hal ini terlihat dari lingkungan keluarga saya. Setiap ada turnamen bulu tangkis bergengsi seperti Indonesia Open dan All England yang disiarkan televisi, seluruh anggota keluarga berkumpul di depan televisi menyaksikan dengan tegang sambil penuh harap kemenangan dapat diraih para pemain Indonesia.

Saya pun masih ingat keharuan saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma berhasil meraih medali emas di Olimpiade 1992 di sektor tunggal putri dan putra. Saat itu lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan untuk pertama kalinya dalam ajang yang diikuti seluruh negara di dunia.

Keriuhan itu tak hanya ada di dalam rumah saya saja. Bahkan warung-warung pinggir jalan sengaja mengeluarkan televisi dari dalam rumahnya untuk mengadakan nonton bareng (nobar) pertandingan bulu tangkis. Apalagi saat itu televisi memang masih belum menjadi barang yang umum ada di setiap rumah. Sorak sorai pun terdengar setiap pemain Indonesia meraih poin.

Jumlah stasiun televisi yang saat itu masih bisa dihitung dengan jari, ada saja yang menyiarkan pertandingan turnamen bulu tangkis yang dilangsungkan di dalam maupun luar negeri. Namun beberapa tahun belakangan, hal itu sudah sangat sulit ditemukan lagi.

Memang tahun lalu sempat ada salah satu televisi swasta nasional yang bahkan menyebut dirinya sebagai ‘Home of Badminton’. Saya sangat mengapresiasi sekali masih ada televisi yang membawa nama bulu tangkis dalam ‘tagline’-nya.

Televisi ini juga menyiarkan turnamen-turnamen bulu tangkis dunia dari level super series (SS) maupun super series premier (SSP). Namun tidak ditayangkan secara langsung, melainkan ditayangkan pada dini hari pukul 01.00 WIB.

Pada tahun ini, ‘tagline’ itu sudah tidak terdengar lagi. Turnamen bulu tangkis pun urung untuk ditayangkan. Kabar terakhir, televisi ini bekerjasama dengan salah satu klub sepakbola di Jakarta. Olahraga ini memang menjadi primadona bagi televisi-televisi tanah air. Selain banyaknya penonton, juga ikut mendongkrak rating televisi yang bersangkutan.

Bagaimana dengan stasiun televisi lain? Mungkin harapan untuk disiarkannya turnamen bulu tangkis juga sama kecilnya. Hal ini bisa dilihat dari turnamen bulu tangkis tertua, All England yang digelar pada 3-8 Maret 2015 lalu. Tidak satu pun stasiun televisi nasional yang menayangkannya. Berita mengenai bulu tangkis hanya ada dalam cupikan-cuplikan berita yang tidak lebih dari beberapa menit saja. Ironis!

Menonton turnamen bulu tangkis pun kini menjadi sesuatu yang langka dan eksklusif. Masyarakat hanya bisa menonton turnamen-turnamen tersebut dari stasiun-stasiun televisi berbayar. Atau mencari link streaming untuk menonton pertandingan tersebut secara langsung. Untuk mencari link streaming itu pun ternyata tidak mudah juga.

Kini ‘kepanikan’ masyarakat pecinta bulu tangkis sudah tidak bisa ditahan. Seiring dengan terancam tidak disiarkannya Sudirman Cup atau Piala Sudirman 2015 pada 10-17 Mei 2015 di Dongguan, Cina oleh stasiun-stasiun televisi nasional.

Para pecinta bulu tangkis meramaikannya di media sosial dengan membuat tagar #RIPTVNasional di Twitter yang diawali akun @bulutangkisri. Bahkan tagar ini sempat memuncaki trending topic di Indonesia pada Ahad (12/4) lalu. Lemahnya kesadaran para televisi nasional untuk menyiarkan pertandingan bulu tangkis menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Patut diakui, prestasi bulu tangkis Indonesia memang sedang mengalami penurunan. Pada tahun ini saja, Indonesia baru meraih dua gelar di turnamen kelas Super Series melalui Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di Malaysia Open 2015 dan pasangan baru Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi yang baru saja menjuarai turnamen Singapore Open 2015.

Akan tetapi, kita pun perlu mengakui, tanpa memandang remeh cabang olahraga lain, bulu tangkis masih menjadi sumber medali Indonesia di event-event pesta olahraga internasional. Istilah ‘Tradisi Emas’ pun tersemat untuk para pemain bulu tangkis agar tetap membawa medali emas di setiap perhelatan Olimpiade.

Tradisi ini putus pada Olimpiade 2012 di London, Inggris, saat tidak ada satupun pemain bulu tangkis Indonesia yang berhasil meraih medali emas. Tidak juga dari cabang olahraga lainnya. Indonesia hanya meraih medali 1 perak dan 1 perunggu dari cabang angkat besi. Selama Indonesia mengikuti Olimpiade, medali emas memang hanya disumbangkan dari cabang bulu tangkis.

Sementara itu Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sedang melakukan negosiasi terhadap sejumlah stasiun televisi nasional untuk menayangkan Sudirman Cup 2015 mendatang. Jika tidak ada satu pun stasiun televisi yang menayangkannya, maka siap-siap saja semakin mundurnya dunia bulu tangkis Indonesia hingga ke titik nadir. Karena anak-anak menjadi tidak familiar dengan bulu tangkis dan tidak tertarik dengan olahraga ini sebagai regenerasi.

Siap-siap pula Indonesia tidak akan meraih medali emas dan tentu saja tidak adanya lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan dengan bangga dan air mata di tengah gegap gempitanya perhelatan Olimpiade yang digelar empat tahun sekali itu.

Menayangkan pertandingan bulu tangkis memang juga seperti mengharapkan adanya rasa nasionalisme yang tinggi terhadap para pemilik stasiun televisi. Dengan begitu kita masih merasa bangga menjadi warga Indonesia yang memiliki atlet berprestasi di luar negeri dengan menontonnya secara langsung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement