Sabtu 11 Apr 2015 06:25 WIB

Relawan (tanpa) Pamrih

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Dua orang anak muda sedang berdialog serius di sebuah poskamling. Saya yang bersama beberapa orang baru saja selesai kumpul-kumpul, dan masih di situ, ikut mendengarkan dialog menarik tersebut.

“Kamu jangan marah tak karuan juntrungannya begitu. Masak saat pertemuan karang taruna dengan Pak Kades, kamu malah memakinya. Tahan dirilah, Budi,” kata pria berambut ikal, yang kemudian saya ketahui bernama Hendra.

“Ya bagaimana saya tidak marah? Soalnya, keterlaluan sikap Pak Kades itu, Ndra,” jawab Budi.

Budi lalu menguraikan kerja kerasnya selama ini. Sebagai aktivis karang taruna serta rajin mengikuti dan bahkan mempelopori aneka kegiatan di kampungnya, Budi memang dikenal di lingkungan desa itu. Tak hanya di kalangan anak-anak muda, Budi juga cukup luas pergaulannya di kalangan yang lebih tua.

Itu pula mungkin yang menjadi pertimbangan sehingga Budi direkrut menjadi relawan saat pemilihan kepala desa di wilayahnya setahun yang lalu. Sosok Budi yang tak pernah bisa diam memang terlihat aktif menggalang massa, terutama kalangan muda, untuk memilih calon kades yang didukungnya.

Sahdan, calon kades pilihan Budi akhirnya menjadi pemenangnya. Bukan kepalang girangnya Budi saat itu, sehingga dia pun berpawai dengan beberapa anggota karang taruna berkeliling desa.

Setahun setelah sang kades dilantik, justru Budi mulai terlihat mengurangi aktivitas di kampungnya. Hendra yang menjadi teman karib Budi pun menegurnya dan mengajaknya agar kembali bergairah sebagaimana biasanya.

“Bud, kamu harus tetap mendukung kepemimpinan Pak Kades. Dia bagus menjalankan roda pemerintahan desa dan tidak korup. Hampir tak ada pungutan-pungutan yang membebani warga. Banyak pula kebijakannya yang memihak rakyat kecil seperti kita,” ujar Hendra.

“Itu saya tahu, Ndra. Tapi, ini soal lain,” ujar Budi dengan nada suara agak merendah.

Budi lalu nyerocos menceritakan, bagaimana pembentukan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam pemilu lalu yang sama sekali tak melibatkan dirinya. Tak hanya itu, saat acara peringatan 17 Agustus di desanya, Budi pun hanya terlibat dalam urusan kecil, yakni sebagai penerima tamu.

“Apa sih sulitnya menjadi PPS? Saya merasa bisa menjalani tugas itu,” ungkap Budi.

Ia masih melanjutkan ocehannya. “Masak di kepanitiaan acara 17 Agustus itu saya hanya menjadi penerima tamu. Menjadi ketua panitia pun saya merasa sanggup dan bisa. Mestinya Pak Kades mempertimbangkan hal itu. Bukankah saya dulu yang berjibaku untuk mendulang suara dia dalam pemilihan kepala desa? Lalu apa balasan pak Kades kepada saya?” papar Budi, kali ini dengan nada suara lebih keras.

“Bud, ingat, waktu pemilihan kades, kamu itu sebagai relawan. Artinya kamu bekerja secara suka rela, tidak ada yang memaksa dan bukan kewajiban. Jadi, ya semestinya kamu tidak mengharapkan balas budi,” kilah Hendra.

“Kalau begitu, ini ibarat habis manis sepah dibuang. Jerih payah saya tak dihargai sama sekali,” kata Budi.

“Ya siapa yang mau makan sepah. Tak enak rasanya, tau,” jawab Hendra sekenanya. Budi pun menukas,” Jangan begitu. Aku ini bicara serius,” sahut Budi.

Hendra lantas menasihati Budi panjang-lebar. Hendra menjelaskan prinsip kerja seorang relawan. Tak semestinya relawan menuntut sesuatu atas hasil kerja atau jerih payah yang dilakukan. Bukankah esensi relawan atau sukarelawan itu bekerja tanpa mengharapkan imbalan atas balas jasa?

Kalau kemudian orang yang dibantu tersebut memberikan sesuatu atau penghargaan atas kerja suka rela kita, maka tak masalah andai kita menerimanya. Namun, bilamana orang yang kita bantu itu ternyata tak membalas hasil kerja kita sebagai relawan, tak semestinya kita mengeluh atau memprotesnya.

Sebagai relawan, sudah seharusnya kita menerima semuanya dengan ikhlas. Pantang pula bagi mereka yang mengenakan baju relawan untuk berkasak-kusuk mencari jabatan atas jerih payahnya.

Bila kita menuntut balas jasa atas kerja kerelawanan kita, maka itu bukan lagi ranah kerja relawan. Itu sudah wilayah kerja profesional dengan garis batas yang jelas antara kewajiban yang harus kita kerjakan dan kompensasi yang diterima.

“Itulah esensi relawan. Lain kali, kalau ada pemilihan kepala desa lagi, kamu harus punya sikap dan jiwa ksatria: mau jadi relawan atau profesional. Sekali kau pijakkan jejak kakimu di bumi kerelawanan, jangan pernah mengemis imbalan atau jasa atas kerja kerasmu. Itu menodai citra dan harga dirimu sebagai relawan. Orang akan menjadi sinis terhadap para relawan,” kata Hendra. Budi hanya terdiam mendengar kicauan Hendra.

Diskusi dua anak muda itu membuat saya tepekur. Saya jadi membayangkan kondisi di pememrintahan kita saat ini. Banyak relawan saat pilpres lalu yang kasak-kusuk ke sana ke mari untuk mengincar atau mencari posisi tertentu. Sesuai atau tidak posisi itu dengan kapasitas kemampuannya tak menjadi masalah. Hal terpenting yang diharapkan mungkin adalah diraihnya posisi atau jabatan yang bisa memberikan penghasilan memadai dan gengsi tersendiri.

Faktanya memang ada beberapa relawan (aktivis, seniman, pengamat, dan lain-lain) yang kini duduk nyaman di kursi empuk serta memiliki jabatan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ini pula yang mungkin membuat para petinggi partai pengusung Jokowi (PDIP) sewot dan merasa dikhianati.

Ini memang ironi setelah berlangsungnya pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 lalu. Era pilpres tersebut ditandai dengan menjamurnya kelompok pendukung yang menamakan diri atau masuk kategori relawan. Ironisnya, justru di era sekarang inilah banyak ditemukan relawan yang ingin masuk di lingkaran pemerintahan.

Mereka sepertinya bukan lagi bekerja tanpa pamrih. Untuk masa mendatang, ada baiknya pengertian relawan diperjelas lagi maknanya atau dihapus saja istilah itu dari khazanah proses pemilihan pemimpin.

Bagi relawan yang kini menduduki jabatan di pelbagai bidang, ada baiknya pula berterima kasih pada pengamat dan relawan Boni Hargens dkk yang sempat menuntut agar dilibatkan dalam proses kerja tim presiden terpilih Joko Widodo. Bisa jadi lantaran mendapat inspirasi dari tuntutan Boni Hargens dkk itulah, banyak relawan yang kini mendapat tempat yang layak di sisi Jokowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement