REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata mengingatkan para politisi untuk mengubah perilaku politik mereka. Tujuannya, agar tingkat kepercayaan masyarakat tidak semakin merosot.
"Perilaku 'barbar' yang dipertontonkan oleh politisi baik yang ada di partai politik atau di DPR harus segera dihentikan. Bila perlu diamputasi, karena akan terus mengganggu tumbuh kembangnya bibit baru di institusi demokrasi kita," katanya di Jakarta, Kamis (9/3).
Menurut Dian, kisruh politik di institusi demokrasi Indonesia masuk tahap stadium ganas. Adu jotos, jual beli pukulan, banting meja serta gelas, saling sabotase, dan lainnya seolah telah menjadi tabiat yang dilazimkan. Publik terus-menerus dicekoki oleh politisi atau anggota partai politik dengan metode penyelesaian konflik yang jauh dari ambang batas nalar.
"Karut marut wajah institusi demokrasi Indonesia menyebabkan melorotnya kepercayaan publik terhadap mereka," katanya.
Dalam data riset survei nasional FFH periode September-Oktober 2012 tentang kepercayaan publik terhadap institusi partai politik, diketahui satu persen publik mengaku sangat percaya, 28,8 persen percaya, 50 persen tidak percaya, 11,7 persen sangat tidak percaya, dan 8,5 persen tidak tahu.
Sementara pada periode April-Mei 2014, sebanyak 2,2 persen sangat percaya, 19,2 persen percaya, 59,5 persen tidak percaya, 7,2 persen sangat tidak percaya, dan 11,9 persen tidak tahu.
Sedangkan pada periode Mei-Juni 2014, sebanyak 2,5 persen sangat percaya, 23,6 persen percaya, 54,5 persen tidak percaya, 6,9 persen sangat tidak percaya, dan 12,5 persen tidak tahu.
"Jika dilihat secara agregat maka tingkat kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi seperti partai politik hanya ada di kisaran 23-29 persen. Artinya sekitar 60 persen publik tidak percaya dengan partai politik. Angka ini sangat mengkhawatirkan," katanya.
Untuk itu, kata alumnus University Sains Malaysia (USM) itu, para elit dan anggota partai politik harus dapat menahan diri ketika dihadapkan pada tujuan politik mereka.