Senin 06 Apr 2015 12:16 WIB
DP Mobil Pejabat Negara

Istana Tolak Jokowi Disebut Gegabah Soal Tunjangan DP Mobil

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Hazliansyah
  Presiden Joko Widodo bersiap memimpin jalannya rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/3).  (Antara/Andika Wahyu)
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin jalannya rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/3). (Antara/Andika Wahyu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kantor Kepresidenan Luhut Binsa Panjaitan menyatakan Presiden Joko Widodo bisa saja menarik kembali Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 tahun 2015 tentang kenaikan tunjangan uang muka pembelian kendaraan bagi pejabat di lembaga tinggi negara. 

Luhut mengatakan, Presiden bisa menarik peraturan tersebut jika memang merasa tidak tepat. 

Presiden Jokowi sebelumnya telah menyatakan akan mengkaji ulang peraturan yang telah ditandatanganinya tersebut. 

"Beliau (Jokowi) bilang mekanisme proses pengambilan keputusan yang keliru, ya kan tidak salah kalau dicabut. Bisa saja," kata mantan menteri perindustrian pada masa Presiden Abdurrahman Wahid tersebut, Senin (6/4).

Menurut Luhut, usulan kenaikan tunjangan uang muka kendaraan sebenarnya sudah ada sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya saja belum dikabulkan karena dianggap momentumnya tidak pas.

Meski demikian Luhut menolak jika dikatakan presiden gegabah saat meneken Perpres. Sebab, menurutnya, wajar jika presiden langsung membubuhkan tanda tangan jika sudah melihat tanda tangan para pembantunya di draft Perpres tersebut. 

"Kalau kamu sudah pejabat sekelas beliau, saya saja di kantor kalau sudah ada 3-4 paraf begitu ya sudah percaya,  teken saja," kata Luhut.

Seperti diketahui, Jokowi telah menandatangani Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang kenaikan tunjangan uang muka pembelian kendaraan bagi pejabat di lembaga tinggi negara. Perpres tersebut mengatur tunjangan uang muka pembelian kendaraan bagi pejabat negara naik dari Rp 116.650.000 menjadi Rp 210.890.000. 

Kenaikan tunjangan ini berlaku untuk pejabat di lembaga tinggi negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement