REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agar tidak menyalahi ketetapan Mahkamah Konstitusi soal penetapan harga minyak, pemerintah dinilai berupaya bermanuver dan malu-malu mengakui melepas harga bahan bakar minyak (BBM) mengikuti harga pasar.
Pernyataan ini disampaikan pengamat ekonomi Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Imaduddin Abdullah. Ia meminta pemerintah menunjukkan kejelasan sikap, melepas harga sesuai mekanisme pasar atau tidak.
Ia menilai pemerintah pasti tahu saat harga BBM naik harga barang juga naik dan saat BBM turun harga barang tidak mengikuti. Sebanyak 50 persen pengeluaran rakyat miskin ada pada BBM.
''Kelas menengah punya cabang penghasilan untuk mengatasi ini, rakyat miskin tidak. Pemerintah jangan naif soal rigiditas harga barang ini,'' kata Imad, Sabtu (4/4).
Penetapan harga baru BBM dalam dua pekan terlalu cepat. Ia menyarankan baiknya ditetapkan dua tiga bulan sekali sebab alokasi subsidi disediakan untuk setahun.
Defisit produksi minyak Indonesia yang mencapai 700 ribu barel perhari dinilainya sebagai kegagalan pemerintah membenahi defisit energi. Terlebih, 93 persen energi Indonesia tergantung minyak bumi.
Imad menilai Indonesia harus ada diversifikasi sumber energi. Ia mencontohkan Norwegia yang kaya minyak, tapi lebih memilih menggunakan biofuel. ''Ini tinggal keberanian politik pemerintah. Regulasi selalu ada, tapi implementasinya nihil, termasuk RFID,'' ujar dia.