REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat pada Kamis (2/4) mengecam perbudakan terhadap ribuan nelayan dari sejumlah negara di Asia Tenggara yang diduga terjadi di Aru, Maluku, dan berjanji akan menghentikan impor ikan yang diketahui berasal dari kerja paksa.
"Kami mengecam dengan keras praktik kerja paksa dalam bentuk apapun termasuk di sektor perikanan dan aturan di Amerika Serikat melarang impor barang hasil perbudakan," kata Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat urusan Lingkungan Hidup, Catherine A. Novelli di Jakarta.
Perbudakan nelayan di Indonesia menjadi perbicangan publik setelah Kantor Berita Associated Press menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan pekerja yang dipaksa mencari ikan oleh PT Pusaka Benjina Resources.
Para korban dari Myanmar, Kamboja, dan Thailand itu dipaksa bekerja dalam kondisi menyedihkan oleh seorang kapten kapal asal Thailand. Organisasi Internasional untuk Migrasi menduga bahwa jumlah pekerja paksa bisa mencapai lebih dari 4.000 orang.
Menurut laporan Associated Press, mereka dipaksa bekerja selama 20-20 jam sehari tanpa hari libur dan mereka minum dari air kotor.
"Banyak pemberitaan di Amerika Serikat soal perbudakan nelayan dan ini merefleksikan kepedulian publik di negara kami pada persoalan tersebut," kata dia.
Menurut keterangan Novelli, Amerika Serikat yang merupakan importir ikan terbesar kedua di dunia, sampai saat ini belum mempunyai kerja sama dengan Indonesia untuk melacak produk-produk laut ilegal. Dia juga mengakui bahwa pemerintahnya belum bisa melacak asal ikan dari hasil perbudakan sehingga ada kemungkinan produk tersebut sampai ke konsumen Amerika Serikat.
Dari hasil investigasi Associated Press, ikan dari PT Pusaka Benjina Resources memang tidak mungkin dilacak karena secara ilegal dikirim ke Thailand. Di negeri Gajah Putih itu, ikan-ikan tersebut kemudian bercampur dengan produk legal untuk diolah oleh pengusaha lokal sebelum diekspor.
Thailand sendiri adalah negara eksportir ikan ketiga terbesar di dunia dan mempunyai pangsa pasar besar di Amerika Serikat.
Laporan Associated Press kemudian segera ditanggapi oleh sejumlah pemerintahan negara Asia Tenggara. Pada Kamis ini, sejumlah pejabat dari Indonesia dan Thailand mengunjungi Benjina di Aru untuk mengetahui secara langsung kondisi di lapangan dan mengidentifikasi langkah apa yang perlu dilakukan.