REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menilai Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) seharusnya mengambil proses hukum sebelum menutup situs-situs yang diduga menyebarkan ajaran dan paham radikalisme. Putusan hukum, lanjut dia, yang menentukan situs-situs tersebut melanggar hukum atau tidak.
"Kalau memang putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sudah membuktikan bersalah, lalu memerintahkan penutupan, proses blokir baru boleh dilakukan," jelas Poengky pada Republika, Rabu (1/4).
Tanpa putusan tersebut, Kemkominfo tidak bisa melakukan pemblokiran secara sepihak. Namun Poengky juga mengatakan di sisi lain, kebebasan berkekspresi juga harus patuh dan taat etika.
"Tidak boleh menebar kebencian karena itu melanggar pidana," tambahnya.
Sebelumnya, Kemenkominfo mengakui telah memblokir 19 website sejak Ahad (29/3). Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Ismail Cawidu, ke-19 website itu dilaporkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai website yang menyebarkan paham atau simpatisan radikalisme.
Pengelola Hidayatullah.com, salah satu media yang diblokir, heran karena mereka sudah beroperasi sejak dua dekade lalu.
“Pemerintah sudah cooling down, dan akan memverifikasi lagi mana saja yang benar-benar termasuk situs radikal. Saya yakin (Hidayatullah.com) tidak termasuk situs radikal yang dkimaksudkan,” kata Ketua Bidang Pelayanan Umat Hidayatullah Asrif Amin, Rabu (1/4).