REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasakan pemantauan Badan Pusat Statistik di 33 provinsi Indonesia pada Maret tercatat daya beli petani secara nasional sebesar 101,53 atau mengalami penurunan 0,64 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
"Penurunan tersebut disebabkan indeks harga hasil produksi pertanian mengalami penurunan sebesar 0,23 persen, sedangkan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi untuk rumah tangga dan keperluan produksi pertanian mengalami peningkatan, sebesar 0,42 persen," kata Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin, saat memberikan laporan pekembangan inflasi di Jakarta, Rabu (1/4).
Penurunan tersebut dipengaruhi oleh turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) pada subsektor tanaman pangan sebesar 1,21 persen, holtikultura sebesar 0,60 persen, perkebunan rakyat sebesar 0,15 persen sebesar 0,43 persen, peternakan dan perikanan sebesar 0,25 persen. Dari 33 provinsi, 14 provinsi mengalami penurunan dan 19 provinsi mengalami kenaikan.
Daerah yang mengalami penurunan tingkat daya beli terbesar adalah Provinsi Jawa Timur yang mengalami penurunan 1,75 persen, hal itu disebabkan oleh penurunan pada subsektor tanaman pangan, khususnya komoditas gabah yang turun sebesar 3,31 persen.
Berbeda dengan Jawa Timurl, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengalami peningkatan daya beli terbesar yaitu sebesar 1,28 persen, hal tersebut ditunjang dengan kenaikan yang cukup singifikan pada sektor tanaman perkebunan rakyat, khususnya komoditas lada yang naik sebesar 3,77 persen.
Secara nasional pada 2015 terjadi inflansi di pedesaan sebesar 0,48 persen yang disebabkan naiknya indeks seluruh konsumsi, khususnya kelompok tranportasi dan komunikasi sebesar 1,31 persen.
Dari 33 provinsi yang dihitung Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKET)-nya, 25 provinsi mengalami inflasi dan 8 provinsi mengalami deflasi pedesaan.
Inflasi pedesaan tertinggi terjadi di Provinsi Papua Barat yaitu 0,92 persen, sedangkan deflasi pedesaan terbesar terjadi di Provinsi Aceh sebesar 0,37 persen.