REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Intelejen dan Terorisme, Margidu Wowiek Prasantyo menyarankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak berlebihan melabelisasi orang atau kelompok dengan kata radikal.
BNPT, kata dia, seharusnya memiliki sampel radikal atau terorisme. Sebab semua itu diperlukan untuk mendefinisikan radikal dan terorisme. "Apalagi, kalau mereka hanya pengacau keamanan biasa," ucapnya pada ROL, Selasa (31/3).
Penjelasan itu dikatakan Prsantyo terkait pemblokiran 19 situs media islam atas permintaan BNPT, karena dianggap menyebarkan ajaran atau paham radikal. "BNPT jangan mudah dan begitu saja mengeluarkan kata radikal atau teroris. Karena keras, dalam beda pendapat, misalnya, belum tentu radikal," tutur Prasantyo.
Prasantyo menambahkan setelah ada definisi jelas terkait radikalisme, BNPT harus mensosialisasikan hal itu pada masyarakat. "Sebelum ada tindakan, memang harus ada definisi dulu," tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Humas dan Pusat Informasi BNPT Irfan Idris mengatakan setidaknya ada empat hal ciri radikalisme. Kriteria ini kemudian yang dipakai BNPT untuk memblokir situs islam yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kriteria pertama, yakni radikalisme bisa ditimbulkan dari ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama. Kedua, mengkafirkan orang lain. Ketiga, mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas.