REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah melarang penjualan minuman beralkohol (minol) di minimarket per 16 April mendatang sesuai dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Perdagangan No.06/M-DAG/PER/1/2015 tentang perubahan kedua atas Permendag No.20/M-DAG/PER/4/2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol (minol).
Sebelumnya, minol dengan kategori A dengan kadar kurang dari lima persen masih diperbolehkan dijual di minimarket, namun dengan adanya peraturan tersebut pada 16 April nanti minol dengan kategori apapun dilarang dijual di minimarket.
Direktur Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan (Kemendag) Widodo mengatakan akan ada tindakan tegas bagi para retail yang masih membandel menjual minol per 16 April mendatang.
"Sanksi berupa administrasi hingga pencabutan izin beroperasi," ujarnya kepada Republika, Ahad (29/3).
Widodo mengharapkan para retail bisa mengikuti peraturan perundang-undangan tersebut, mengingat hal ini ia yakini akan memiliki dampak positif terutama untuk anak-anak seperti kaum pelajar di Indonesia. Ia menegaskan, bahwa minol sejatinya tidak dilarang melainkan hanya membatasi distribusi penjualannya saja.
"Minol masih boleh dijual di Supermarket dan Hipermarket namun harus diletakkan secara khusus dan terpisah dari minuman lain, selain itu juga kan boleh dijual di Hotel," katanya.
Widodo menambahkan untuk mengawasi berjalannya kebijakan ini, Kemendag akan terus berkoordinasi dengan kepala daerah. Disinggung mengapa baru sekarang kebijakan ini dterapkan, ia mengatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (Apidmi) Agoes Silaban mengatakan kebijakan itu tidak akan memengaruhi anggotanya yang kebanyakan menjual minol kategori B dan C dan memang tidak menjual produknya di minimarket.
"Ada juga anggota kami yang menjual bir impor dari Meksiko dan Jerman, tapi memang tidak dijual di minimarket mengingat harganya mahal," jelasnya.
Ia menilai kebijakan itu lebih berdampak kepada bir yang diproduksi lokal lantaran penjualan mereka memang disitu, sedangkan bir impor yang harganya relatif mahal lebih ditujukan untuk hotel-hotel atau bar-bar kelas atas.
"Efeknya sudah pasti akan menurunkan omset penjualan bir-bir lokal," ujarnya lagi.
Meski baru akan diterapkan per 16 April, Agoes mendengar sudah ada penurunan omset hingga 50 persen dari bir lokal akibat adanya kebijakan tersebut. Sebagai solusinya, ia mengatakan permasahan ini dapat disiasti dengan adanya peraturan daerah masing-masing dimana ada beberapa daerah yang bisa lebih fleksibel mengenai peraturan ini.