REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut, ada tiga bentuk radikalisme. Pertama, radikalisme di lingkungan remaja. Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. "Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka," kata Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Agus Surya Bakti dalam keterangannya, Jumat (27/3).
Menurutnya, propaganda radikalisasi kini mudah menyebar ke seluruh dunia karena perkembangan teknologi komunikasi. Misalnya, seperti terjadi pada WNI yang berangkat ke Suriah dan disinyalir bergabung dalam jaringan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Ia menilai, Indonesia terlambat menyadarinya. "Kini kami fokus dalam upaya membendung radikalisasi di dunia maya yang dilakukan oleh ISIS. Kelompok ini menjadi luar biasa dan Indonesia menjadi sasaran bagi mereka untuk merekrut anggota baru," katanya.
Menurutnya, jika dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi seperti tempat pendidikan atau tempat pertemuan, kini bergeser ke internet yang bisa diakses melalui gadget dan warung internet murah yang tersebar di mana-mana. "Media sosial membuka ruang tertutup menjadi terbuka. Tak heran jika beberapa remaja 18-25 tahun bergabung dengan ISIS karena pengaruh propaganda media sosial," katanya.
Sehingga, menurutnya, dunia maya merupakan instrumen yang membentuk pola radikalisme baru yang makin rumit. Apalagi kelompok Alqaeda sejak 2005 telah menjadikan media untuk merebut hati para pendukungnya.
Ia menyebut media online dan media sosial merupakan ruang publik baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat terbuka.
Agus mengungkapkan, melalui media online perubahan pola propaganda terorisme berlangsung lebih masif dan terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat secara umum.
"Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris," tambah dia.
Harus disadari, jelasnya, dibandingkan negara-negara Barat, Indonesia sedikit lebih terlambat menyadari ancaman terorisme di media online. Namun hal itu bukan hal yang terlambat bila saat ini memberikan porsi besar terhadap arus radikalisme di dunia maya.
Empat tahun ini, ujarnya, pemerintah berusaha memutus rantai jaringan terorisme dunia. Usaha itu pun mampu melokalisasi kekuatan terorisme dalam negeri dan jaringan internasional dengan melibatkan banyak pihak, seperti tokoh ulama, tokoh pendidikan, pemuda, dan tokoh masyarakat.
"Terpenting adalah pemerintah harus memikirkan formulasi kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif dalam menangani penyebaran propaganda radikalisme dan terorisme. Tumpulnya regulasi akan menjadi angin segar bagi kelompok teroris untuk menyebarkan paham dan ajaran radikal dengan bebas di dunia maya," papar Agus.