REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat sempat kaget ketika calon kepala Polri Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, atas kasus rekening gendut yang ditangani KPK. Yang lebih mengejutkan, gugatan BG dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi. Gara-gara kejadian itu, banyak pihak yang mencoba mencari keadilan melalui gugatan praperadilan.
Pengacara Ade Sutisna yang mengajukan praperadilan kepala kepala Polres Bogor di PN Cibinong, Junaidi mengatakan, menjadi agak aneh karena publik hanya disuguhi pengetahuan sebatas praperadilan, seperti yang diatur Pasal 77 KUHAP semata. "Tanpa mau melihat makna bahwa sesungguhnya proses membuat matinya keadilan bisa juga dilakukan aparat penyidik terhadap warga negara melalui pelekatan tersangka," ujarnya kepada wartawan, Selasa (24/3).
Junaidi menjelaskan, pihaknya mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap Kapolres Bogor dengan alasan agar publik tahu bagimana keanehan penetapan tersangka yang dialami Ade Sutisna. Kliennya, kata dia, ditetapkan menjadi tersangka dalam tuduhan pencurian tanah dengan pemberatan.
"Mana ada pencurian, namun tidak terjadi perubahan atas jumlah dari objek yang dicuri? Nah, kalau tanah yang dituduhkan dicuri dengan cara pemberatan, pertanyaannya, apakah luasan tanah itu hilang atau berkurang luasnya? Ukuran luasan tanah itu di bumi ini adalah meter persegi lho."
Apalagi, lanjut Junaidi, kliennya adalah penerima kuasa dari sang pemilik tanah, namun mereka sedang bersengketa perdata lantas pihak lawannya melaporkan Ade Sutisna telah mencuri tanah. Hal itu jelas berbenturan dengan Surat Edaran (SE) Ketua Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 dan SE Jampidum Kejagung tahun 2013, yang menyatakan kalau kasus seperti yang dituduhkan ke Ade itu harus dipertangguhkan sampai keputusan perdata itu berkekuatan hukum tetap.
"Ini tidak, masih sidang banding, eh, masa Ade Sutisna yang menerima kuasa langsung ditetapkan jadi tersangka dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Cibinong. Wajarkan hal ini kami praperadilankan? Kasihan Ade Sutisna ditetapkan sebagai tersangka dengan sewenang-wenang. Kesewenangan ini yang kami mohonkan dalam praperadilan," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor tersebut.
Junaidi menyatakan, hakim itu manusia yang memiliki logika dan perasaan. Hukum tertulis di benak mereka harus bisa mengikuti perkembangan zaman kehidupan. Mereka, tambah dia, memiliki kelebihan dalam memutuskan sesuatu untuk memberi keadilan.
Junaidi menyebut, publik sudah membatasi rasa keadilan dengan mengharamkan upaya menguji penetapan tersangka. Atas dasar itu, ia tidak peduli apakah yang melekatkan itu berstatus polisi, jaksa, atau KPK sekalipun. "Perlu diingat, hukum itu tidak mati, dia dinamis. Dahulu mencuri arus listrik tidak bisa dipidana, sekarang sudah bisa. Mengapa untuk mempraperadilankan penetapan tersangka tidak kita dorong agar bisa diatur menjadi objek praperadilan?"