Kamis 19 Mar 2015 15:52 WIB

Pemerintah Dinilai Belum Serius Lindungi Masyarakat Adat

Rep: Sonia Fitri/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah warga masyarakat Adat dari pelbagai kampung Adat di Jawa Barat mengikuti acara Festival Budaya Masyarakat Adat Tatar Sunda (FBMATS) di Kabupaten Bandung.
Foto: ANTARA/Agus Bebeng/ca
Sejumlah warga masyarakat Adat dari pelbagai kampung Adat di Jawa Barat mengikuti acara Festival Budaya Masyarakat Adat Tatar Sunda (FBMATS) di Kabupaten Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sejak 15 tahun lalu hingga saat ini, kasus kerusakan lingkungan sekaligus tergerusnya masyarakat adat di lingkungan hutannya sendiri cenderung dibiarkan bahkan penyelesaian hukumnya berlarut-larut. Tak jarang, sejumlah masyarakat adat yang memiliki lahan dan hutan tersingkir, bukan jadi pengelola hutan tapi beralih menjadi buruh.

Menanggapi itu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Direktur Eksekutif Walhi Wilayah Kalimantan Barat Anton P Wijaya menilai pemerintah sampai saat ini belum serius dalam melindungi masyarakat adat dan kesehatan lingkungannya.

"Karena dorongan politik dan upaya memperkaya diri sendiri, pejabat dan pengusaha 'berselingkuh' mengeksploitasi alam," kata dia dalam Media Briefing bertajuk "Membongkar Sistem Perizinan Sektor Sawit untuk Menjaga Masyarakat Adat" Kedai Tempo, Jl. Utan Kayu no 68H Jakarta Timur pada Kamis (19/3).

Karut-marut persoalan pengelolaan sumber daya alam utamanya lahan sawit, kata dia, banyak didorong oleh ketidakefektifan regulasi yang dibuat dengan implementasi di lapangan. Hal tersebut terus berulang hingga akhirnya masyarakat adat jadi korban.

Disebutkannya, khusus wilayah Kalimantan Barat, terdapat sekitar 5,3 juta hektar lahan sawit terbentang dan pengelolaannya didominasi oleh 550 perusahaan sawit. Sisanya, masyarakat tersingkir dan yang lainnya menjadi buruh. Banyaknya perusahaan pengelola sawit berdampak buruk karena longgarnya implementasi kebijakan pemerintah di lapangan, di mana aturan pusat diabaikan oleh pemerintah daerah.

"Yang paling kentara yakni jelang pilkada, banyak perizinan pengusahaan lahan yang dipercepat karena ada kepentingan bisnis dan pembiayaan kampanye dari pengusaha," kata dia. Namun, dirinya dan aktivis lingkungan sampai saat ini belum mendapatkan bukti data penyelewengan tersebut karena pemerintan sangat tertutup. "Kita sudah tau baunya, tapi sangat ditutup," lanjutnya.

Maka ia berharap pemerintah saat ini bisa tegas menindak penyalahgunaan lahan sawit kalangan pengusaha dan pemerintah untuk memperkaya diri sendiri. Sebab jupika dibiarkan, negara akan rugi besar. Dalam perhitungannya, terjadi kerugian negara hingga Rp 6 hingga 7 Miliar per hektar per tahun atas pembiaran pengelolaan lahan. Belum lagi kerugian lainnya seperti kehilangan adat dan budaya karena tempat mereka dijrah pengusaha. Kerugiannya, kata dia, tak ternilai besarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement