Kamis 19 Mar 2015 06:00 WIB

Suatu Pagi di Tukang Pijat

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Usai Subuh, menjelang matahari terbit, akhir pekan lalu di kawasan Tanah Kusir Jakarta Selatan penulis Resonansi ini sudah antri menunggu giliran dipijat. Pijat dengan segala bentuk turunannya agaknya paling lengkap di Indonesia. Pernah menetap dan keliling berbagai negara di lima benua, penulis Resonansi ini tidak menemukan jenis-jenis pijat selengkap di tanahair. Karena itu, tidak heran kalau banyak pejabat sampai ke tingkat presiden memelihara tukang pijat, yang juga ikut dibawa dalam perjalanan luarnegeri.

Menggemari selama puluhan tahun, pijat bukan hanya dapat menghilangkan rasa capek dan pegal, tetapi juga bisa menyembuhkan atau sedikitnya lebih meringankan penyakit semacam stroke, kejepit syaraf (yang pernah diderita penulis Resonansi) atau imsomnia dan stress. Pijat bukan tidak sering bisa menyembuhkan penyakit yang tak kunjung sembuh dengan dokter atau terafis. Kata orang, penyembuhan penyakit ‘cocok-cocok-an’; ada yang cocoknya dengan dokter, tapi juga ada yang cocoknya dengan tukang pijat.

Tapi hati-hati, jangan sampai terjebak tukang pijat yang juga melakukan praktek perdukunan, yang tentu saja musyrik. Atau tukang pijat yang menjanjikan penyembuhan ‘sempurna’ dengan bayaran yang sangat komersial—melibatkan dana puluhan juta, Tukang pijat seperti ini tidak lain con-man alias penipu yang menjanjikan hal too good to be true, terlalu bagus untuk benar-benar bisa terwujud.

Bagi penulis Resonansi ini, pergi ke tukang pijit adalah kesempatan emas untuk merasakan ‘denyut jantung’ orang-orang yang datang dari berbagai lapisan sosial sejak dari pejabat, pengusaha sampai kepada guru, buruh atau pensiunan. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang bebas dari kungkungan berbagai struktur dan batas; mereka adalah orang-orang yang dengan bebas dan polos mengungkapkan hal-hal yang mereka rasakan. Inilah suara yang mungkin tidak terekam survei dan juga tidak terungkap dalam media massa.

Adalah pak Aceng misalnya yang sudah hampir setahun mengalami stroke, dan kini sudah bisa berbicara dengan lancar dan runut. Pensiunan pekerja rendahan rekanan Pemda DKI dalam penanganan hewan sembelihan ini mulai dengan menyatakan kekecewaannya pada pemerintah Jokowi-JK. “Saya sekeluarga dulu mencoblos banteng moncong putih dan juga pasangan JKW-JK. Tapi setelah sudah hampir setengah tahun, tidak terlihat tanda-tanda perbaikan hidup rakyat. Malah harga bahan pokok, terutama beras terus melonjak”.

Akibatnya, semakin sedikit yang bisa dibeli dengan rupiah. Pak Aceng yang sejak pensiun hidup pas-pasan juga tahu dollar kian melejit, nyaris tanpa kontrol memerosotkan nilai rupiah. Pak Aceng mencemaskan jika krisis moneter yang terjadi beriringan dengan kenaikan harga barang menimbulkan krisis ekonomi dan politik seperti 1997-1998 yang membuat jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto.

Mpok Inah, pewarung kecil juga merasa dagangannya yang serba sedikit (masing-masing satu panci; nasi, sayur tahu tempe, dan gorengan) makin tidak menyisakan keuntungan. “Dulu ada sedikit keuntungan selain bisa makan dari dagangan. Kini tidak bisa lagi bisa makan sekenyangnya dari dagangan”, kata Mpok Inah yang asli Betawi ini.

Kembali ke pak Aceng; ia melihat pemerintah tidak bisa bekerja dengan baik karena tidak bisa menyelesaikan kegaduhan kekuasaan dan politik yang terus berlanjut. Ia melihat polisi yang sewenang-wenang dan terus menunjukkan arogansi kekuasaan. “Presiden Jokowi ternyata tidak tegas menindak petinggi Polri yang tidak menjalankan perintahnya”.

Bicara soal Polri, pak Hasan mempertanyakan fenomena agak aneh terkait isyu begal yang hampir secara serentak muncul di Indonesia sejak dari Aceh, Sumatera Utama, Jabodetabek sampai Sulawesi Selatan dan Maluku. “Aneh ya, di tengah kegaduhan kepolisian dengan KPK yang kelihatan terus berlanjut, para begal di berbagai daerah dan kota muncul seolah ada pihak yang menggerakkan. Selama ini selalu ada begal, tetapi tidak melakukan aksi dan menjadi pemberitaan meluas di seluruh Indonesia”, ujar pak Hasan yang pengusaha properti apartemen untuk kelas menengah di selatan Jakarta.

Mendengar berbagai suara rakyat, yang terdengar umumnya adalah keluhan dan kritik terhadap tidak berjalan baiknya pemerintahan. Mereka tidak berharap banyak kecuali beban hidup lebih ringan, yang lebih bisa dipikul dengan pendapatan mereka yang tidak banyak. Mereka tidak memimpikan hidup yang penuh kemelimpahan (affluent).

Dalam percakapan, terasakan juga kian merosotnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintah. Memang dalam Pilpres 2014 lalu, terdapat semacam eksplosi harapan kepada pasangan JKW-JK. Tetapi, sejauh ini harapan itu kian menjauh daripada terwujud.

Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla masih memiliki waktu cukup banyak—sekitar 4,5 tahun—untuk bekerja, kembali menggenjot pembangunan. Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan evaluasi tentang berbagai hambatan dan kendala yang membuat pemerintah tak efektif sejak dari kondisi politik yang tidak kondusif sampai pada kebanyakan menteri kabinet yang tidak menunjukkan gejala kinerja yang baik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement